UKDW Menjadi Ruang Dialog Gereja dan Krisis Ekologis

23 Oktober 2025 – Gereja tidak lagi cukup berperan sebagai lembaga spiritual yang hanya berbicara soal keselamatan pribadi. Gereja kini dituntut tampil sebagai agen ketangguhan dalam menghadapi krisis bencana dan perubahan iklim yang semakin nyata.

Gagasan ini mengemuka dalam Talkshow Sesi I Konsultasi Nasional Pengurangan Risiko Bencana (PRB) serta Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim yang digelar di Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta pada 16 Oktober 2025. Sesi tersebut mengangkat topik “Rancang Bangun Teologi Diakonia Ekumenis: Gereja sebagai Agen Ketangguhan dalam Menghadapi Krisis Bencana dan Iklim.”

Read More

Sekretaris Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Pdt. Darwin Darmawan, membuka sesi dengan refleksi berjudul “Meneguhkan Kemandirian Oikoumenis untuk Keadilan Iklim dan Pengurangan Risiko Bencana.” Ia menegaskan bahwa diakonia gereja harus bertransformasi menjadi ekodiakonia, yakni pelayanan yang menggabungkan kasih dengan keadilan ekologis.

“Gereja dipanggil berpihak pada kehidupan, mendengarkan suara mereka yang terpinggirkan oleh bencana dan kebijakan eksploitatif, serta menjadi saksi kasih Allah melalui tindakan nyata,” ujarnya.

Sementara itu, Prof. J.B. Banawiratma, teolog senior dan dosen Fakultas Teologi UKDW, mengajak gereja untuk meninjau ulang akar teologi diakonia di tengah kompleksitas krisis global. Ia menilai bahwa dunia saat ini berada dalam era Capitalocene, yaitu zaman ketika kapital, kekuasaan, dan alam saling bertaut dan menentukan arah hidup manusia.

Ia juga menekankan pentingnya Manifesto Nasaret (Lukas 4:18–19) sebagai dasar teologi diakonia, yang mendorong pembebasan holistik bagi manusia dan seluruh ciptaan. Dari sana, ia menggagas konsep Teologi Trinitaris Kosmis, yang melihat hubungan manusia, alam, dan Allah sebagai satu kesatuan organik. “Spiritualitas sejati adalah hidup dan bertindak dalam Roh Kudus, mengikuti Yesus, dan terlibat dalam gerakan Kerajaan Allah yang bersifat politis dalam arti luas dan profetis,” jelasnya.

Banawiratma juga mengingatkan bahwa ketangguhan pelayanan gereja tidak bertumpu pada kekuatan yang dimiliki dan keberhasilan yang dapat dijamin, melainkan pada pengharapan akan misteri Ilahi yang melingkupi seluruh semesta. Semua ciptaan perlu diberi ruang untuk merespons secara aktif dan saling mendengarkan, termasuk dalam menghadapi ketidakpastian.

Talkshow ini juga menghadirkan praktik nyata dari ACT Indonesia Forum (ACTIF), forum kerja sama lintas lembaga gereja anggota ACT Alliance di Indonesia. ACTIF memaparkan kesaksian gereja yang aktif dalam kerja-kerja kebencanaan dengan membentuk tim siaga, memberikan dukungan psikososial, hingga mengintegrasikan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dalam pelayanan jemaat.

“Gereja bukan hanya tempat ibadah, tetapi rumah belajar ketangguhan, tempat iman diwujudkan melalui aksi kemanusiaan dan kepedulian terhadap bumi,” ujar Tiurma Pohan, Convener ACTIF.

Menutup sesi, moderator Pdt. Victor Rembeth menegaskan bahwa ketangguhan sejati bukan soal kemampuan bertahan sendiri, melainkan keberanian untuk bergerak bersama dalam solidaritas, iman, dan kasih terhadap bumi. “Ketika gereja berjalan bersama ciptaan, di situlah Injil benar-benar menjadi kabar baik bagi seluruh alam,” tandasnya.

Related posts

Leave a Reply