Percepatan pengembangan produksi mobil listrik di dalam negeri perlu didukung kesiapan penerapan teknologinya. Untuk itu, Kementerian Perindustrian mendorong sejumlah pelaku manufaktur otomotif dan pihak perguruan tinggi terus melakukan kegiatan riset dalam menghasilkan inovasi teknologi.
“Teknologi mobil listrik itu ada macam-macam tipe, antara lain plug in hybrid, hybrid, dan electric vehicle. Ini yang akan kita coba,” kata Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto di Jakarta, Selasa (23/5) malam.
Menperin menyampaikan, beberapa manufaktur otomotif di Indonesia telah siap berinvestasi untuk mengembangkan kendaraan emisi karbon rendah (low carbon emission vehicle/LCEV) atau mengusung konsep ramah lingkungan, termasuk mobil listrik.
“Misalnya, Mitsubishi yang telah menghibahkan sebanyak 10 mobil listrik kepada Pemerintah Indonesia untuk dilakukan studi bersama mengenai teknologinya. Kemudian, Toyota juga tengah melakukan studi bersama dengan melibatkan UI, UGM, ITS dan ITB yang akan mempelajari teknologi berbagai tipe mobil listrik,” paparnya.
Menperin menilai, salah satu kunci pengembangan mobil listrik itu berada di teknologi energy saving, yaitu penggunaan baterai. “Indonesia punya sumber bahan baku untuk pembuatan komponen baterai, seperti nikel murni,” ujarnya.
Artinya, nikel murni tersebut bisa diproduksi dan diolah di dalam negeri. “Bahkan, sudah ada industri pengolahan nikel murni yang berinvestasi di Morowali dan Halmahera. Selain itu, ada satu bahan baku lainnya, yakni kobalt yang juga dapat mendukung pembuatan baterai. Potensi kobalt ini ada di Bangka,” imbuhnya.
Dengan ketersediaan dua sumber bahan baku tersebut, Menperin meyakini, teknologi baterai untuk mobil listrik dapat dikuasai terlebih dahulu. Seiring penerapan teknologi tersebut, mobil yang ramah lingkungan juga bisa menggunakan fuel cell atau bahan bakar hidrogen.
“Nah, ini menjadi salah satu renewable energy yang sedang kita dalami. Kemenperin telah bekerja sama dengan Fraunhofer dan Tsukuba University untuk melakukan litbang terhadap jenis ganggang tertentu dengan Palm Oil Mill Effluent (POME) yang bisa menghasilkan biofuel,” ungkapnya.
Menperin mengakui, jumlah komponen di kendaraan listrik jauh lebih kecil dibanding komponen pada kendaraan dengan mesin pembakaran. Hal ini tentu akan menyangkut mengenai keberlanjutan aktivitas produksi industri komponen di dalam negeri, termasuk penyerapan tenaga kerja.
“Untuk itu, di dalam roadmap pengembangan kendaraan bermotor nasional, kami memang tidak menghapuskan serta-merta semua kendaraan dengan mesin pembakaran,” tuturnya.
Produksi 20 persen
Kemenperin menargetkan, pada tahun 2025, kendaraan LCEV termasuk mobil listrik dapat diproduksi sebanyak 20 persen dari seluruh populasi kendaraan di Indonesia. Sasaran ini disesuaikan dengan tren di dunia. Namun, jika permintaannya tinggi, produksi bisa melebihi dari target yang ditetapkan tersebut.
Dirjen Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika (ILMATE) Harjanto menjelaskan, pengembangan kendaraan listrik di dalam ngeri perlu pentahapan yang terintegrasi sebagaimana peta jalan pengembangan industri kendaraan bermotor nasional.
Misalnya, aspek penyiapan regulasi atau payung hukum, infrastruktur pendukung, dan teknologi. “Selain itu, kesiapan untuk keberlanjutan industri, dampak lingkungan, dan dampak sosial,” imbuhnya. Harjanto pun menekankan, poin utama dalam pengembangan mobil listrik adalah industrinya harus ada di dalam negeri.
“Jangan sampai di satu sisi kita ingin mengurangi impor minyak dan gas, tetapi di bagian lain impornya malah lebih besar seperti komponen baterainya,” ungkap Harjanto. Hal ini seiring dengan komitmen PemerintahIndonesia untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 29 persen secara mandiridan sebesar 41persen dengan bantuan internasional pada tahun 2030 pada COP21 di Paris.
Oleh karena itu, Kemenperin berupaya menyinkronkan kebijakan pengembangan kendaraan bermotornasional menjadi sesuai peta jalan Making Indonesia 4.0. “Dalam menuju revolusi industri 4.0, kami memacu industri otomotif agar mampu menjadi sektor unggulan untuk ekspor ICE (internal combustion engine/mesin pembakaran dalam) dan EV (electric vehicle/kendaraan listrik),” tuturnya.
Harjanto juga menekankan bahwa pembangunan infrastruktur kendaraan listrik seperti charging stationmenjadi sangat penting. “Jangan sampai ketika sudah bicara otomotif, ternyata infrastrukturnya belum siap. Jadi, kami berharap nanti masyarakat pakai kendaraan listrik dengan mudah dan nyaman,” ujarnya.
Selanjutnya, Kemenperin mendorong peningkatan kemampuan industri komponen dalam negeri, seperti memproduksi baterai untuk kendaraan listrik. Upaya ini antara lain dilakukan melalui kegiatan penelitian dan pengembangan (R&D) serta penerapan standardisasi produknya.
Strategi lain untuk mendorong industri otomotif di Indonesia agar berinvestasi memproduksi kendaraan listrik, yakni melalui pemberian insentif. Kemenperin telah mengusulkan kepada Kementerian Keuangan mengenai pemberian insentif terhadap pengembangan program LCEV, yang di dalamnya termasuk kendaraan listrik.