Dec 11, 2025
11 Desember 2025 – Sektor pertanian tetap menjadi pilar utama perekonomian Afrika Timur, menyumbang lebih dari 32% PDB regional dan memberikan lapangan pekerjaan bagi lebih dari 80% populasi (East African Community, n.d). Sementara itu, Uni Eropa merupakan pasar strategis, menyerap lebih dari 60% ekspor kopi negara-negara Afrika Timur (SEI, 2024). Dengan diberlakukannya EU Deforestation Regulation (EUDR) dan Corporate Sustainability Due Diligence Directive (CSDDD), lebih dari Rp53 Triliun nilai perdagangan kini berada dalam risiko apabila kesenjangan kepatuhan tidak segera ditangani (Danish Industry Report, 2024). Namun tingkat kesadaran dan kesiapan masih sangat rendah: hanya 15% pelaku agribisnis yang benar-benar memahami regulasi baru tersebut, sementara sebagian besar rantai pasok masih menghadapi kesenjangan ketertelusuran yang signifikan—mulai dari data yang terfragmentasi, cakupan geolokasi terbatas, hingga catatan petani yang tidak konsisten. Dalam webinar Beyond Traceability Talks Vol. 4, para ahli dari Agricultural Business Initiative, Café Africa, dan Koltiva menegaskan bahwa ancaman terbesar bagi akses pasar Afrika Timur bukan terletak pada biaya, melainkan pada keterlambatan tindakan untuk menutup kesenjangan ketertelusuran dan uji tuntas yang semakin mendesak.

Pendapatan ekspor Afrika Timur senilai Rp53,4 triliun (€2,75 miliar) terancam seiring pasar global semakin memperketat penegakan aturan ketertelusuran. Para eksportir pertanian kini dituntut membuktikan asal-usul dan proses produksi komoditas mereka. Namun, hanya 15% pelaku agribisnis di kawasan tersebut yang memahami persyaratan baru ini, menurut Danish Industry Report 2024. Minimnya adopsi sistem ketertelusuran digital di tingkat petani membuat risiko kehilangan akses ke pasar bernilai tinggi semakin nyata.
Pertanian merupakan tulang punggung ekonomi Afrika Timur, menyumbang 32% PDB dan mempekerjakan lebih dari 80% penduduk di sana. Meski demikian, ekspor kopi, kakao, teh, sereal, hortikultura, minyak nabati, karet, dan kayu kini menghadapi regulasi yang jauh lebih ketat di Uni Eropa—pasar utama bagi hasil pertanian dari Uganda, Kenya, Tanzania, Ethiopia, Rwanda, dan Burundi.
Urgensi meningkat seiring berlakunya EU Deforestation Regulation (EUDR) dan Corporate Sustainability Due Diligence Directive (CSDDD), yang mengharuskan pembuktian legalitas, jaminan bebas deforestasi, dan transparansi rantai pasok dari hulu ke hilir. Regulasi ini berlaku lintas sektor, mencakup hampir seluruh ekspor terkait pertanian yang memasuki pasar Eropa. Meskipun ditujukan untuk memperkuat keberlanjutan global, regulasi tersebut justru menyoroti kesenjangan kesiapan yang semakin melebar di Afrika Timur. Laporan yang sama menunjukkan bahwa 65% perusahaan memerlukan panduan kepatuhan yang lebih jelas, 57% membutuhkan kerangka implementasi yang praktis, dan 52% masih kekurangan alat digital yang memadai (Danish Industry Report, 2024). Dampak awal mulai terlihat di mana The Guardian (2024) melaporkan bahwa ketidakpastian kepatuhan membuat sejumlah pembeli Eropa mengurangi atau memperlambat pembelian, terutama di rantai pasok yang didominasi petani kecil, di mana verifikasi ketertelusuran lebih kompleks.
Di kawasan ini, diskusi soal kepatuhan kini berkembang menjadi pembahasan yang lebih luas mengenai penerapan ketertelusuran digital. Banyak pelaku usaha masih melihat ketertelusuran sebagai beban biaya tambahan, sementara risiko terbesar justru terletak pada hilangnya akses ke pasar premium yang mensyaratkan legalitas dan bukti bebas deforestasi. Meski urgensinya semakin jelas, tingkat adopsinya tetap rendah. Hambatannya beragam—dari literasi digital yang masih minim, keterbatasan akses perangkat dan konektivitas yang tidak stabil, hingga sistem internal yang terfragmentasi serta kekhawatiran terhadap keamanan dan pemanfaatan data.
Dalam webinar Beyond Ketertelusuran Talks yang diselenggarakan KOLTIVA, perusahaan AgriTech asal Swiss-Indonesia, Regional Program Manager Agricultural Business Initiative (aBi), Susan Atyang, menegaskan bahwa ketertelusuran kini menjadi fondasi untuk memperkuat daya saing, memperluas akses pasar, sekaligus meningkatkan inklusi finansial.
“Ketertelusuran merupakan landasan untuk memperkuat daya saing, memperluas akses pasar, dan meningkatkan inklusi finansial. Untuk memastikan investasi digital memberikan dampak yang nyata, aBi terlebih dahulu menilai kesiapan organisasi, mulai dari laporan keuangan yang diaudit, potensi ROI, kapasitas co-investment, jangkauan petani, hingga sistem kepatuhan yang sudah ada,” ujar Susan.
Pendekatan tersebut mencerminkan kondisi industri yang kian nyata: ketertelusuran bukan lagi fitur tambahan, melainkan standar minimum untuk memasuki pasar Eropa yang semakin selektif.
Kesalahpahaman terkait kompleksitas teknologi bagi petani kecil turut diluruskan dalam diskusi tersebut. Waithera Muriithi, Strategy & Innovation Lead di Café Africa Uganda, menegaskan bahwa ketertelusuran tidak dapat dicapai tanpa pemberdayaan petani.
“Ketertelusuran tidak akan tercapai tanpa pemberdayaan petani. Tantangannya bukan kemampuan teknis, tetapi kesadaran. Ketika petani memahami manfaatnya, tingkat adopsi meningkat secara signifikan,” ujarnya.
Café Africa sendiri memimpin sejumlah inisiatif nasional, termasuk gugus tugas EUDR dan pengembangan sistem data nasional untuk memperkuat koordinasi kepatuhan di tingkat negara.
Meski mencatat sejumlah kemajuan, Afrika Timur masih dihadapkan pada tantangan besar dalam memenuhi standar ketertelusuran global. Lebih dari 75% sektor pertaniannya di Ethiopia, Kenya, Tanzania, dan Uganda bergantung pada petani kecil—banyak di antaranya belum memiliki dokumen kepemilikan lahan formal yang diperlukan untuk verifikasi geolokasi. Fragmentasi rantai pasok dengan banyak perantara turut menyulitkan konsistensi data. Di sisi lain, infrastruktur digital belum memadai. Penetrasi internet di kawasan baru mencapai 28,5%, jauh tertinggal dibanding rata-rata global 67,9% (Statista, 2025). Sementara itu, 80% petani kecil hidup di bawah garis kemiskinan (Regeneration & Co, 2025), sehingga pembebanan penuh biaya kepatuhan kepada mereka dinilai tidak realistis dan tidak adil.

Tantangan lain muncul dari distribusi biaya kepatuhan yang belum merata di sepanjang rantai pasok. Senior Head of Markets EMEA Koltiva, Fanny Butler, menegaskan bahwa “tidak ada keberlanjutan tanpa ketertelusuran, dan permintaan ke depan akan terus meningkat.” Ia menilai skema pembiayaan bersama antara pembeli, pemasok, dan mitra pembangunan merupakan pendekatan paling realistis untuk mempercepat kepatuhan di wilayah pedesaan yang didominasi petani kecil. Menurutnya, praktik terbaik eksportir terkemuka menunjukkan bahwa pembeli perlu mendukung proses onboarding, pemasok memastikan kualitas data, dan mitra pembangunan berperan dalam menanggung biaya pemetaan.
Dari perspektif pasar global, CEO dan Co-Founder Koltiva, Manfred Borer, menilai Afrika Timur memiliki sumber daya, ekosistem produksi, dan permintaan internasional yang kuat.
“Yang dibutuhkan saat ini adalah kesiapan yang bergerak selaras. Ketertelusuran bukan lagi inisiatif bagi sebagian kecil pelaku industri, tetapi tiket untuk memasuki pasar global bernilai tinggi,” ujarnya.
Pernyataan ini menggambarkan tren industri yang semakin melihat ketertelusuran sebagai aset strategis, bukan sekadar kewajiban regulasi.
Para ahli sepakat bahwa langkah ke depan membutuhkan tiga pendekatan utama: meningkatkan pemahaman regulasi di seluruh rantai pasok, melakukan asesmen sumber untuk memverifikasi geolokasi dan risiko deforestasi, serta menerapkan teknologi digital yang sesuai dengan kondisi lapangan. Ketiga hal ini bukan lagi pilihan tambahan, melainkan prasyarat dasar untuk mempertahankan akses ke pasar premium.
Afrika Timur diproyeksikan menyumbang 19% pertumbuhan tambahan produksi pertanian global dalam dekade mendatang (OECD–FAO, 2025), menegaskan potensi jangka panjang kawasan ini. Namun, peluang tersebut hanya dapat terwujud jika eksportir, prosesor, koperasi, dan pemerintah bergerak cepat menutup kesenjangan kepatuhan yang masih terjadi. Dengan standar keberlanjutan global yang semakin ketat, kawasan ini berada pada titik krusial—antara memperkuat daya saing atau menghadapi risiko berkurangnya akses pasar.
Pada akhirnya, masa depan Afrika Timur akan sangat ditentukan oleh kecepatan adopsi ketertelusuran digital serta kesiapan kolektif seluruh pemangku kepentingan dalam membangun sistem rantai pasok yang lebih transparan, inklusif, dan tangguh.





