Pemerintah bertekad untuk terus meningkatkan daya saing industri manufaktur nasional agar lebih produktif dan kompetitif di pasar domestik maupun internasional. Sebab, industri manufaktur menjadi salah satu sektor andalan dalam menopang pertumbuhan ekonomi nasional di tengah ketidakpastian kondisi global.
“Ketidakpastian global ini berdampak tidak hanya pada Indonesia, tetapi juga negara-negara lain. Contohnya, dengan terjadinya perang dagang Amerika Serikat dan China yang memengaruhi negara-negara mitra bisnisnya. Namun demikian, kinerja industri dan ekonomi nasional masih mencatatkan kinerja positif,” kata Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) Kemenperin Ngakan Timur Antara di Jakarta, Rabu (9/1).
Berdasarkan data dari Trading Economics, pada kuartal III tahun 2018, Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia yang berasal dari industri manufaktur sebesar USD39,7 miliar. PDB sektor manufaktur Indonesia ini merupakan yang terbesar di kawasan Asean.
Disusul oleh Thailand pada posisi kedua dengan porsi mencapai USD22,5 miliar, kemudian diikuti Malaysia (USD17,2 miliar), Singapura (USD16 miliar), Vietnam (USD8,2 miliar), Filipina (USD8,2 miliar), Kamboja (USD2,8 miliar), Laos (USD1,1 miliar), dan Brunei Darussalam (USD0,5 miliar).
Kementerian Perindustrian juga mencatat, sektor industri pengolahan nonmigas periode tahun 2015-2018 mengalami kinerja positif dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 4,87 persen dan masih sebagai sektor yang berkontribusi paling besar terhadap PDB nasional, dengan setoran hingga 17,66 persen pada tahun 2018.
“Pada tahun 2015, sektor industri pengolahan nonmigas menyumbang sebesar Rp2.098,1 triliun terhadap PDB nasional, meningkat menjadi Rp2.555,8 triliun di tahun 2018 atau setara dengan 21,8 persen,” ungkap Ngakan.
Dengan konsistensi kontribusi yang tertinggi tersebut, pemerintah berkomitmen lebih memacu pengembangan industri manufaktur melalui pelaksanaan peta jalan Making Indonesia 4.0. “Aspirasi besar dari roadmap itu, menjadikan Indonesia masuk jajaran 10 negara yang memiliki perekonomian terkuat di dunia pada tahun 2030,” imbuhnya.
Merujuk proyeksi jangka panjang yang dirilis oleh Standard Chartered Plc, Indonesia mampu masuk menjadi negara dengan perekonomian keempat terbesar di dunia tahun 2030, dengan PDB mencapai USD10,1 triliun. Posisi pertama ditempati China (Nominal PDB USD64,2 triliun), disusul India (USD46,3 triliun) dan Amerika Serikat (USD31 triliun).
Indonesia mampu melampaui Turki (USD9,1 triliun), Brasil (USD8,6 triliun), Mesir (USD8,2 triliun), Rusia (USD7,9 triliun), Jepang (USD7,2 triliun), dan Jerman (USD6,9 triliun).
Untuk itu, dalam upaya menggenjot industri nasional agar semakin berdaya saing global, Kemenperin menjalankan kebijakan untuk peningkatan penggunaan produk dalam negeri (P3DN). Regulasi ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 29 tahun 2018 tentang Pemberdayaan Industridan juga diperkuat dengan Kepres Nomor 24 Tahun 2018 tentang Tim Nasional P3DN.
Selanjutnya, melakukan penguatan sumber daya manusia (SDM) industri melalui pendidikan vokasi industri berbasis kompetensi yang link and match dengan industri,pelatihan industri berbasis kompetensi yang dikembangkan dengan sistem three in one (3 in 1), pemagangan industri, fasilitasi sertifikasi kompetensi dan pengembangan inkubator bisnis dalam rangka menciptakan wirausaha baru (startup).
Kemenperin juga gencar melaksanakan kegiatan pengembangan industri kecil dan menengah (IKM) dengan platform digital yang disebut e-smart IKM. Program e-smart IKM ini merupakan suatu sistem database IKM yang tersaji dalam profil industri, sentra dan produk yang diintegrasikan dengan marketplace yang telah ada dan didukung oleh sistem data base SIINAS.
“Program e-smart ini akan terhubung dengan klaster-klaster prioritas seperti industri perhiasan, furniture, kerajinan, dan kosmetik sehingga akan membantu para pelaku IKM dalam melakukan promosi dan meningkatkan penjualan produk baik dalam negeri maupun luar negeri,” tuturnya.
Sementara itu, Direktur Ketahanan Industri Kemenperin Reni Yanita menambahkan, kebijakan lainnya yang diperlukan saat ini adalah penumbuhan industri baru dalam rangka penguatan dan pendalaman struktur industri nasional di kawasan industri, pemberian insentif fiskal (tax holiday, tax allowance dan BMDTP) untuk investasi industri hulu serta substitusi impor dan insentif non fiskal.