JAKARTA, 6 Maret 2018 – Teknologi telah mengubah sektor ritel, kekuatan yang semula berada di tangan brand berpindah ke tangan konsumen. Konsumen saat ini memiliki akses ke berbagai informasi sehingga terpapar pada lebih banyak pilihan. Secara signifkan hal ini telah mengubah lanskap pasar, memungkinkan pesaing untuk tampil sebagai pemimpin baru.
Di tahun 2020, digital commerce kawasan ASEAN diperkirakan tumbuh secara eksponensial mencapai US$ 32 miliar dalam 3 tahun ke depan. Tapi apa yang mendorong ekspansi eksponensial ini?
Demografi memainkan peran utama dalam mendorong pertumbuhan ini. 50% dari populasi ASEAN berusia di bawah 30 tahun, dan memasuki masa potensi kemampuan belanja tertinggi mereka.
Penggunaan perangkat seluler dan internet semakin meningkat tanpa henti, dengan 800 juta koneksi mobile dan 480 juta pengguna internet diperkirakan akan dicapai pada tahun 2020. Kemakmuran yang meningkat, didukung oleh pertumbuhan PDB yang pesat melebihi 5%, akan menghasilkan 70 juta rumah tangga menjadi konsumen baru.
Pemerintah di seluruh kawasan ASEAN diproyeksikan akan berinvestasi sebesar US$ 200 miliar antara periode 2015 hingga 2020 di bidang infrastruktur digital. Hal ini menekan sektor swasta untuk meningkatkan kemampuan digital mereka. Antara 2014 dan 2016, perusahaan-perusahaan di ASEAN menginvestasikan US$ 3 miliar dalam digital commerce untuk empat tahun ke depan, jumlah ini diperkirakan meningkat lebih dari tiga kali lipat, menjadi US$ 10 miliar.
Perubahan Konsumen Asia
Faktor pendorong di balik semua perubahan ini terletak pada konsumen. Pola hidup di kawasan Asia semakin sibuk, konsumen ingin terbebas dari aktivitas yang memakan waktu sehingga bisa lebih meluangkan waktu untuk sesuatu yang berharga bagi mereka, misalnya, waktu bersama keluarga.
Dengan perangkat yang dilengkapi teknologi terbaik saat ini, konsumen menginginkan pengalaman layanan daring maupun offline yang lebih baik. Hampir satu dari empat pembelian daring sekarang dilakukan menggunakan ponsel pintar dan pada tahun 2020 sekitar 65% dari semua transaksi akan dilakukan secara daring.
Jatuhnya penjualan perusahaan dengan sistem bisnis konvensional merupakan bukti bahwa pembeli sudah mulai beralih ke perangkat pintar. Konsumen mencari informasi dan membuat keputusan berdasarkan ulasan dari banyak sumber dan membandingkan harga melalui aplikasi dan situs web untuk menemukan penawaran terbaik.
Bentuk e-commerce ini diprediksi akan berubah pada tahun 2020, seiring perkembangan teknologi untuk mempersiapkan kita menghadapi tahap berikutnya – surga bagi para pembeli – dimana konsumen bisa mendapatkan apa yang mereka inginkan, bahkan sebelum mereka menginginkannya.
Pada saat itu, perpaduan Internet of Things dan kecerdasan buatan (artificial intelligence) akhirnya akan membuat rumah tangga lebih cerdas (dilengkapi dengan teknologi terdepan). Perangkat rumah tangga akan mengotomatisasi seluruh proses belanja dan di saat yang bersamaan mengantisipasi dan mengingatkan saat persediaan makanan sudah mulai habis. Perangkat dengan bantuan suara akan memberikan prediksi dan membantu menyelesaikan pembelian melalui metode pembayaran yang lebih praktis.
Aktivitas belanja dapat diintegrasikan sepenuhnya ke dalam kehidupan sehari-hari, sehingga kita menggunakan waktu tanpa harus melakukan ritual persiapan yang membosankan.
Era baru digital commerce
Jadi mengapa e-commerce menjadi ketinggalan zaman? Hal ini terjadi karena apa yang berhasil di masa lalu belum tentu efektif saat ini. Hanya dengan mempromosikan produk di platform daring dan menghabiskan dana untuk strategi pemasaran saja tidaklah cukup untuk menarik konsumen Asia yang tengah berkembang pesat.
Model bisnis ini merupakan paradigma yang sudah jauh tertinggal dan tidak mampu memenuhi kebutuhan konsumen. Perusahaan terkemuka telah beralih dari metode penjualan daring konvensional dalam 18 bulan terakhir karena hanya menawarkan aktivasi, pengalaman pelanggan dan data yang terbatas.
Perusahaan saat ini sudah banyak menerapkan digital commerce dalam menjalankan bisnis daring. Digital commerce memungkinkan mereka menghasilkan kebutuhan, mengendalikan rantai pasokan, meningkatkan pengalaman pelanggan dan menyediakan data yang cukup untuk menganalisa agar usaha pemasaran menjadi lebih terarah, efektif dan terpadu.
Rumah mode Ralph Lauren telah mengadopsi strategi terintegrasi untuk menciptakan hubungan emosional yang lebih dalam dengan pelanggannya. Butik andalan di area Manhattan ini dilengkapi ruang ganti (fitting room) interaktif untuk mengenali barang yang dibawa pelanggan dengan teknologi identifikasi frekuensi radio (RFID). Cermin cerdas (smart mirrors) secara otomatis menampilkan barang-barang di layar, memberikan rekomendasi sesuai dengan ukuran dan warna yang tersedia. Fitur lain dari cermin mencakup enam pilihan bahasa dan fitur tombol “panggil pegawai” untuk memanggil karyawan butik. Di bagian belakang, data RFID dianalisa untuk membantu pengecer membuat keputusan dan prediksi terkait merchandising, seperti informasi tentang pakaian yang sering dicoba oleh konsumen namun tidak dibeli.
Buah kemenangan dari keberanian
Untuk memenuhi kebutuhan konsumen saat ini dan di masa depan, perusahaan perlu mengembangkan platform digital commerce dan panduan pemasaran mereka, serta mengevaluasi strategi daring dan perangkat teknologi yang mereka miliki saat ini. Hal ini dapat dicapai melalui teknologi pendukung seperti analisis data, sistem pengelolaan konten dan produk web, pembayaran, manajemen pesanan dan perencanaan logistik untuk memberikan pengalaman pelanggan terbaik di kelasnya.
Saat ini penerapan e-commerce sudah tidak relevan. Kita perlu menghadapi era baru perdagangan digital untuk memenuhi tuntutan konsumen Asia yang terus berkembang.
Tren Digital Commerce di Indonesia
Generasi Millenial siap menginisiasi perubahan pasar
Indonesia merupakan salah satu negara di kawasan Asia Pasifik yang mengalami keterlambatan dalam adopsi digital dengan penetrasi internet yang relatif rendah oleh 264 juta penduduknya. Namun, dengan jumlah populasi Indonesia yang diprediksi akan bertambah sebanyak 13,4 juta pada tahun 2022, Indeks Konsumen Digital diprediksi akan meningkat cepat dengan setengah dari populasi Indonesia memiliki akses ke internet. Dari total populasi yang sudah memiliki akses internet, 43,5% merupakan pembeli digital. Jumlah tersebut diprediksi akan melonjak hingga 65,4% pada tahun 2022. Pengeluaran belanja digital per kapita masih relatif rendah sebesar US$ 31,70 per pembeli. Namun, jumlah tersebut diprediksi akan bertambah lebih dari dua kali lipat dalam lima tahun ke depan.
72% konsumen Indonesia berbelanja daring untuk menghemat waktu dibandingkan untuk menghemat uang. Kenaikan signifikan ekonomi digital diperkirakan akan didukung oleh ekspansi ekonomi Indonesia. Pertumbuhan PDB diprediksi berada di rata-rata 5% tiap tahun, memberikan dasar yang kuat untuk investasi baru dan meningkatkan pendapatan masyarakat kelas menengah (salah satu kelas terbesar di dunia). Faktor pendukung lainnya adalah generasi muda dimana 50% diantaranya termasuk generasi millennials. Dengan pengguna ponsel pintar yang menghabiskan rata-rata 181 menit per harinya (jumlah waktu tertinggi di dunia), peluang bisnis perdagangan ponsel semakin terbuka lebar.
Strategi Route-to-MarketBerdasarkan potensi pasar di kawasan Asia Pasifik khususnya Indonesia, sangatlah penting untuk memiliki pemahaman tentang pembeli, unit apa yang dibeli, kapan, di mana dan bagaimana pembelian itu terjadi. Hal itu disebabkan karena para pemenang di dunia baru ini adalah perusahaan yang memiliki strategi RTM yang sesuai dengan tujuan bisnis di tengah lanskap yang dinamis. Route-to-Market pada dasarnya adalah pengetahuan untuk memahami perilaku pembeli dan jenis gerai tertentu.
Lima pertanyaan utama dalam menganalisa Route-to-Market (RTM) adalah:
1. Siapakah konsumen yang tepat: Seberapa efisien pelaku bisnis menjangkau dan melibatkan konsumen baru ini?
2. Di mana mereka: Bagaimana memastikan bahwa kita memiliki produk yang tepat bagi konsumen dan di saat yang bersamaan mampu menyeimbangkan pertumbuhan serta biaya berbisnis?
3. Apa yang akan mereka beli?
a. Produk apa yang sesuai dengan keinginan konsumen?
b. Apa yang harus kita jual kepada konsumen sehingga margin keuntungan menjadi optimal?
4. Dimana mereka akan membeli: Apa yang harus diselaraskan dengan ‘Channel mix / options’ berdasarkan kategori dan kelompok konsumen yang memiliki pendapatan yang sesuai? Strategi RTM seperti apa yang harus diterapkan untuk memenuhi kebutuhan konsumen di saat yang tepat?
5. Bagaimana mereka akan membeli: Bagaimana kita memberikan pengalaman omni-channel yang dapat meningkatkan ketertarikan konsumen untuk melakukan pembelian?
Untuk mulai melakukan analisis RTM, hal pertama yang perlu dilakukan adalah mengkategorikan atau mengelompokkan pedagang dan konsumen yang unik. Pasar perlu mengidentifikasi model bisnis dan kebutuhan konsumen. Kemudian tindakan selanjutnya adalah pemetaan masing-masing jenis konsumen dengan pelaku bisnis.
Pada tahun 2017, untuk lebih memahami pola belanja konsumen Indonesia, Accenture melakukan penelitian konsumen di Indonesia mengenai perilaku dan preferensi konsumen dengan menggunakan data dan analisis dari Snapcart yang meliputi lebih dari 8 juta transaksi konsumen di lebih dari 6.500 gerai perdagangan modern di seluruh bangsa. Metodologi inovatif Snapcart, yang menggunakan tanda terima belanja yang diunggah oleh pengguna ke aplikasi Snapcart, mengidentifikasi transaksi konsumen termasuk waktu pembelian dan komposisi produk yang dibeli.
Apakah Belanja Daring Akan Menggantikan Belanja Offline?
Munculnya teknologi digital telah menimbulkan banyak pertanyaan terkait masa depan ritel. Untuk mengungkap dan memahami hal ini lebih jauh lagi, Snapcart melakukan survei yang melibatkan lebih dari 3.700 responden di Indonesia selama bulan April 2017