Jakarta, 28 November 2017 – CORE Economic Outlook untuk tahun 2018 mengambil judul Innovative policies for an accelerated economic growth karena berangkat dari fakta bahwa dalam tiga tahun terakhir ekonomi nasional hanya tumbuh stagnan di level 5%. CORE memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2017 akan berada di kisaran 5,05% – 5,1%.Ekonom senior dan founder CORE, Hendri Saparini, meyakini bahwa untuk dapat mendongkrak pertumbuhan ekonomi lebih tinggi sebagaimana yang ditargetkan pemerintahan Jokowi-JK, dibutuhkan kebijakan-kebijakan yang inovatif. Apalagi ekonomi domestik saat ini juga mengalami perubahan yang cepat, mulai dari perkembangan pesat teknologi informasi, internet, robotisasi, hingga perubahan lifestyle masyarakat.
Tanpa adanya kebijakan-kebijakan yang inovatif, CORE memprediksi ekonomi Indonesia di tahun 2018 akan tumbuh marginal di kisaran 5,1% – 5,2%. Sementara inflasi tahun depan diprediksi mencapai 3,5%, dan nilai tukar berada pada kisaran Rp 13.500 per Dolar AS.
Menurut Ekonom CORE, Prof. Ina Primiana, perbaikan peringkat dalam global competitiveness dan ease of doing business tidak akan banyak berdampak pada pertumbuhan investasi baik domestik maupun asing apabila tidak disertai perubahan kebijakan pemerintah yang komprehensif dan teritegrasi. Faktanya, meskipun investasi pemerintah untuk pembangunan infrastruktur telah mendorong pertumbuhan investasi di sektor tersier, investasi di sektor sekunder (industri manufaktur) selama tiga kuartal pertama tahun 2017 mengalami perlambatan dibanding tahun 2016. Beberapa permasalahan yang menghambat investasi masih belum terpecahkan, di antaranya yang terkait dengan pembebasan lahan, tumpang tindih peraturan, dan lemahnya koordinasi yang berhubungan pendistribusian kewenangan dan pengambilan keputusan.
Lebih lanjut, Hendri Saparini berpendapat bahwa tahun 2018 akan semakin menantang karena tahun politik akan hadir lebih dini dengan digelarnya Pilkada serentak dan persiapan Pemilu 2019. Berbeda dengan Pilkada serentak tahun 2015 yang hanya digelar di 8 provinsi, cakupan Pilkada kali ini lebih luas dan meliputi daerah-daerah yang memiliki PDRB terbesar. Pilkada tahun depan akan digelar di 17 provinsi, 39 kota dan 115 kabupaten, termasuk daerah-daerah yang menjadi pusat ekonomi utama seperti Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Utara, Kalimantan Timur dan Sulawesi Selatan. Pilkada serentak tersebut akan menjadi awal rangkaian tahun politik sebelum masuk ke agenda Pemilu tahun 2019, dimana nama calon pasangan presiden dan wakil presiden sudah harus masuk dan ditetapkan di tahun depan.
Peneliti senior CORE, Muhammad Ishak, meyakini bahwa daya dorong ekonomi global terhadap ekonomi domestik di tahun 2018 relatif terbatas dibandingkan tahun ini.Pasalnya, pertumbuhan ekonomi negara-negara yang menjadi tujuan ekspor utama Indonesia seperti Tiongkok, Jepang, dan Uni Eropa diperkirakan akan mengalami perlambatan di tahun depan. Dengan demikian, ekspor ke negara-negara tersebut juga akan sedikit melambat dibandingkan dengan tahun ini. Meski demikian, peluang ekspor Indonesia ke Tiongkok diperkirakan masih cukup prospektif karena walaupun pertumbuhan PDB negara tersebut melambat, pertumbuhan permintaan domestiknya masih relatif masih kuat. Selain itu, beberapa tujuan ekspor utama Indonesia lainnya seperti Amerika Serikat, India dan beberapa negara Asia seperti Vietnam akan tumbuh lebih baik dibandingkan dengan tahun ini.
Selain peningkatan dari sisi permintaan, peningkatan ekspor juga akan ditopang oleh kenaikan harga beberapa komoditas andalan Indonesia seperti minyak bumi, gas, palm oil, dan beberapa komoditas mineral seperti nikel dan tembaga. Meskipun demikian, kenaikannya tidak lagi setinggi kenaikan di tahun ini mengingat sejumlah komoditas telah mengalami rebound yang cukup tinggi khususnya di kuartal pertama tahun ini. Selain itu, beberapa ekspor manufaktur selain minyak sawit, seperti mesin dan produk elektronika juga diperkirakan masih akan tumbuh signifikan tahun depan akibat membaiknya pertumbuhan negara-negara tujuan ekspor produk ini.
Dari sisi permintaan domestik, Direktur CORE, Mohammad Faisal, memprediksi pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang menjadi penopang utama ekonomi domestik masih akan tertahan pada level 4,95 – 5,00%, sedikit lebih baik dibanding tahun ini yang diperkirakan maksimum hanya mencapai 4,95%. Konsumsi golongan menengah bawah diperkirakan akan tumbuh lebih tinggi dibanding golongan atas.Menurut Faisal, ada beberapa faktor yang mendorong pertumbuhan konsumsi golongan menengah bawah. Pertama, Pilkada serentak yang akan digelar pada bulan Juni dan kampanye Presiden yang dimulai pada Oktober 2018 akan meningkatkan belanja masyarakat yang terlibat dalam pesta demokrasi tersebut. Saat diselenggarakan Pilkada serentak di tahun 2015, misalnya, pertumbuhan konsumsi masyarakat 40% berpendapatan terendah terdongkrak hingga hampir 20%, atau yang tertinggi setidaknya dalam lima tahun terakhir.
Kedua, peningkatan belanja bantuan sosial (bansos) baik yang bersumber dari APBN maupun APBD akan mengalami peningkatan sebagaimana kelaziman menjelang Pilkada dan Pilpres. Meskipun demikian, belanja tersebut tidak akan banyak berdampak besar, mengingat sasaran penerima bansos sebenarnya adalah penduduk kelas bawah yang kontribusinya terhadap total konsumsi nasional kurang dari 10%.
Ketiga, peningkatan harga-harga komoditas akan memberikan peningkatan pendapatan bagi masyarakat di daerah-daerah pertambangan dan perkebunan seperti di Sumatera dan Kalimantan.
Keempat, proyeksi inflasi tahun depan diperkirakan tetap rendah sebagaimana inflasi tahun ini, yakni di level 3,5%. Tekanan inflasi dari administered prices tahun depan diperkirakan rendah karena pengaruh tahun politik, sementara inflasi volatile food juga diperkirakan tidak akan banyak memberikan tekanan jika pemerintah mampu mengelola stok dan distribusi pangan secara lebih efektif.
Meskipun demikian, Faisal memprediksi bahwa konsumsi masyarakat menengah atastahun depan belum akan banyak meningkat dibandingkan dengan tahun ini. Golongan ini masih akan cenderung menahan belanja hingga situasi politik benar-benar stabil dan kebijakan perpajakan pemerintah menjadi lebih kondusif dibandingkan dengan saat ini yang relatif kurang akomodatif dalam mendorong belanja.
Belanja pemerintah diprediksi akan tumbuh moderat di kisaran 3%. Menurut ekonom CORE lainnya, Akhmad Akbar Susamto, ada beberapa faktor yang mempengaruhi belanja pemerintah tahun depan. Sebagai faktor pendorong adalah kenaikan alokasi belanja sosial yang tahun depan ditargetkan meningkat 23%. Secara historis, setahun sebelum Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden, terjadi kenaikan dana bantuan sosial (bansos) yang signifikan, seperti pada tahun 2008 sebesar 28%, dan tahun 2013 sebesar 22%.
Sementara faktor penahan antara lain realisasi pendapatan APBN 2018 diperkirakan masih terlalu optimis sehingga masih sulit untuk dicapai. Hal tersebut berpotensi mendorong pemerintah untuk melakukan pemangkasan anggaran Kementerian dan Lembaga terutama yang tidak terkait dengan proyek infrastruktur. Meski demikian, karena tekanan di tahun politik yang lebih tinggi, pemangkasan anggaran secara besar-besaran oleh pemerintah akan dihindari. Untuk itu, pemerintah kemungkinan besar akan menutup pembiayaan untuk belanja yang besar dengan mengkombinasikan antara pemangkasan belanja dengan penambahan utang.
CORE memprediksi pertumbuhan investasi tahun depan juga masih akan berada di kisaran 6%. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi tertahannya pertumbuhan investasi tersebut. Dari sisi pemerintah, menurut peneliti CORE, Yusuf Rendy Manilet, anggaran untuk belanja modal khususnya infrastruktur diperkirakan hanya mengalami kenaikan tipis dibandingkan dengan tahun ini. Tahun depan anggaran infrastruktur yang terkait dengan ekonomi mencapai Rp 395 triliun, kurang lebih masih sama dengan anggaran tahun ini yang mencapai Rp 390 triliun. Namun yang perlu dicatat, akibat penyerapan yang lambat dan juga adanya shortfall penerimaan, proyeksi realisasi tahun ini hanya akan mencapai Rp378 triliun. Dengan kondisi yang tidak banyak berbeda dengan tahun ini, realisasi anggaran infrastruktur tahun 2018 akan hampir sama dengan tahun ini. Sementara itu, belanja infrastruktur pemerintah daerah juga akan relatif stagnan karena alokasi transfer ke daerah tahun depan yang relatif sama dengan alokasi pada tahun 2017, yakni di kisaran 766 triliun.
Selain itu, realisasi investasi oleh BUMN diperkirakan juga tidak akan terlalu ekspansif. Mohammad Faisal berpendapat bahwa BUMN-BUMN Karya yang banyak mendapatkan proyek pengerjaan infrastruktur yang masuk Proyek Strategis Nasional saat ini menghadapi kendala dari sisi keuangan. Kalaupun dipaksakan untuk melakukan ekspansi, maka mereka harus melakukan penambahan pinjaman lewat perbankan ataupun penambahan modal baik melalui Penyertaan Modal Negara (PNM), penerbitan obligasi, privatisasi, ataupun penjualan aset. Namun, rata-rata debt to equity perusahaan-perusahaan tersebut sudah cukup tinggi sehingga sangat sulit untuk melakukan pembiayaan melalui utang. Sementara alternatif yang lain sangat bergantung pada keputusan politik pemerintah. Adapun, pembiayaan melalui sekuritisasi aset di pasar modal seperti Kontrak Investasi Kolektif (KIK) Dana Investasi Real Estate (DIRE) dan KIK Efek Beragun Aset (EBA) belum banyak dimanfaatkan oleh BUMN kecuali oleh PT Jasa Marga dan PT Indonesia Power. Rendahnya likuiditas domestik, termasuk akibat rendahnya realisasi repatriasi tax amnesty, menjadikan dana swasta untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur lewat pasar modal masih sangat terbatas.
Dari sisi swasta, menurut Faisal, dorongan untuk melakukan investasi juga masih terbatas. Beberapa faktor memang masih akan menjadikan Indonesia menarik untuk investasi di antaranya lingkungan bisnis yang semakin baik terutama melalui reformasi regulasi investasi yang telah menaikkan daya saing investasi Indonesia. Secara teoretis, semestinya hal ini menjadikan Indonesia semakin menarik bagi investor untuk menanamkan modalnya baik melalui direct investment ataupun melalui pasar modal. Namun demikian, kejelasan kewenangan, serta integrasi dan konsistensi kebijakan terkait investasi baik secara vertikal maupun horisontal masih menjadi hambatan besar bagi investor swasta untuk merealisasikan investasinya. Di saat yang sama, pembangunan infrastruktur yang masuk kategori Program Strategis Nasional juga masih memiliki gap pendanaan yang besar dari sisi investasi swasta, seperti di sektor kelistrikan, air, energi dan transportasi.
Muhamad Ishak berpendapat bahwa selain infrastruktur, beberapa sektor juga memiliki prospek pertumbuhan yang cukup bagus seperti sektor pertambangan mineral dan batubara, sektor jasa keuangan khususnya perbankan, informasi dan telekomunikasi, dan perdagangan e-commerce. Di sektor sekunder, investasi untuk sebagian industri juga tumbuh positif, khususnya yang memiliki pertumbuhan permintaan yang cukup tinggi baik domestik dan ekspor seperti industri makanan dan minuman, industri kimia dan farmasi, industri otomotif, industri mesin dan elektronika.
Hendri Saparini meyakini bahwa tanpa adanya kebijakan yang inovatif, daya dorong pertumbuhan ekonomi dari sisi moneter terhadap pertumbuhan ekonomi tahun depan juga akan sangat minimal. Berbeda dengan banyak bank sentral seperti di AS, Uni Eropa, Jepang dan Cina, kebijakan moneter Bank Indonesia selama ini lebih banyak bersifat reaktif terhadap perkembangan ekonomi. Apalagi tahun depan ruang pelonggaran moneter Bank Indonesia menjadi semakin sempit. Pengetatan moneter The Fed yang diperkirakan akan berlanjut tahun depan dan juga rencana pengurangan balance sheet secara bertahap akan memberikan tekanan terhadap rupiah. Kebijakan fiskal Trump yang melakukan pemangkasan pajak korporasi dan pembangunan infrastruktur juga akan mendorong peningkatan ekspektasi membaiknya pertumbuhan ekonomi negara itu. Dengan demikian, tahun depan penguatan dolar berpotensi lebih besar.
Dengan demikian, upaya BI untuk mendorong penurunan tingkat suku bunga kredit perbankan dan meningkatkan likuiditas di pasar domestik menjadi semakin terbatas. Dampaknya, pertumbuhan kredit tahun depan masih sulit untuk mencapai dua digit. Meskipun demikian, membaiknya beberapa sektor ekonomi seperti di sektor pertambangan dan konstruksi akan mendorong kredit tumbuh lebih baik dibandingkan dengan tahun ini.
Sementara dari sisi penawaran, Mohammad Faisal berpendapat bahwabeberapa sektor berpotensi tumbuh tinggi tahun depan. Sejumlah industri manufaktur seperti industri makanan dan minuman, industri kimia dan farmasi dan industri otomotif berpeluang tumbuh cukup tinggi. Besarnya pasar domestik,potensi ekspor yang cukup prospektif, serta ketersediaan bahan baku yang melimpah, membuat sektor ini berpotensi menjadi pendorong utama pertumbuhan industri manufaktur. Meskipun demikian, kebijakan pemerintah yang kondusif bagi pertumbuhan industri manufaktur sangat penting dalam menjaga iklim pertumbuhan sektor ini. Sebagai contoh, kebijakan pemerintah mengenai pengadaan bahan baku gula rafinasi, susu dan garam industri perlu disinergikan dengan pengembangan sektor lain sehingga ikut dapat mendorong pertumbuhan sektor tersebut. Tidak seperti saat ini dimana pertumbuhan industri manufaktur juga diikuti dengan peningkatan impor bahan baku.
Sektor lain yang juga prospektif di tahun depan adalah jasa informasi dan telekomunikasi. Transformasi digital yang telah merambah berbagai aspek (Internet of Things/IoT) seperti pada jasa keuangan (fintech), e-commerce, transportasi dan logistik, dan entertainment (musik, film dan games) menjadi pendorong utama tumbuhnya sektor ini. Di saat yang sama, ekosistem sektor ini, baik dalam kualitas layanan maupun ketersediaan infrastruktur terus dikembangkan seperti pembangunan BTS (base transceiver station) untuk memperluas jangkauan jaringan 4G LTE, pembangunan jaringan tulang punggung serat optik ‘Palapa Ring’, peningkatan jaringan broadband melalui lelang frekuensi 2,1 GHz dan 2,3 GHz, dan rencana penataan ulang (refarming) frekuensi 4G.
Hendri Saparini berpendapat bahwa tahun 2018 akan menjadi tahun pertaruhan bagi Presiden Jokowi. Tahun 2018 merupakan tahun politik yang didalamnya tidak hanya dipenuhi oleh hiruk-pikuk pilkada tetapi juga oleh berbagai kegaduhan persiapan pemilihan presiden. Presiden Jokowi hanya punya satu tahun lagi untuk membuktikan “Jokowi Effects” benar-benar ada dengan membuat perekonomian Indonesia tumbuh tidak biasa-biasa saja. Perekonomian Indonesia pada tahun 2018 harus bisa tumbuh di atas ekspektasi semua orang. Bukan sekedar tumbuh dengan angka 5,1% atau 5,2%. Bukan juga tumbuh sebesar 5,4% seperti yang direncanakan dalam APBN 2018. Presiden Jokowi harus bisa mencatatkan pertumbuhan di atas 6%. Itu akan menjadi prestasi terbaik sekaligus modal besar Presiden Jokowi menghadapi pemilu 2019.
Namun, pertumbuhan ekonomi mendekati atau bahkan mencapai 6% hanya bisa dicapai apabila pemerintah melakukan berbagai inovasi kebijakan untuk mengatasi semua hambatan yang selama ini menahan laju pertumbuhan ekonomi. Harus diakui bahwa hambatan-hambatan tersebut dipicu oleh terbatasnya ruang fiskal yang kemudian berujung pada rendahnya partisipasi swasta. Pemaksaan penggunaan kebijakan fiskal yang sesungguhnya terbatas untuk mendorong perekonomian dalam tiga tahun terakhir ini nampak jelas pada kebijakan perpajakan. Pada tahun 2016-2017 pemerintah memutuskan mengambil kebijakan tax amnesty yang disebut-sebut sebagai pelaksanaantax amnesty yang tersukses di dunia. Faktanya, pada dua tahun tersebut realisasi penerimaan pajak jauh di bawah target, sementara di sisi lain dampak buruknya adalah para pengusaha menahan investasi. Penggunaan pajak untuk memacu pertumbuhan ekonomi seperti pedang bermata dua. Pada satu sisi dia akan membantu pemerintah meningkatkan penerimaan untuk membiayai berbagai program pembangunan, tetapi disisi lain dia bisa melukai karena menimbulkan kekhawatiran pihak swasta yang berujung menurunnya investasi bahkan konsumsi swasta.
Akbar Susamto menganjurkan agar Pemerintah menyadari keterbatasan ruang fiskal, dan oleh karenanya upaya memercepat pertumbuhan ekonomidi tahun 2018 seharusnya tidak semata bersandar kepada investasi dan konsumsi pemerintah yang mensyaratkan peningkatan penerimaan pajak.Pemerintah sebaiknya lebih berupaya meningkatkan peran swasta dimana insentif yang paling efektif untuk mendorong kontribusi swasta adalah kebijakan pajak yang lebih kondusif. Pemberian insentif pajak bukan berarti pemerintah meninggalkan upaya meningkatkan tax ratio yang saat ini masih rendah. Peningkatan tax ratio bukan sebuah projek yang dapat dikerjakan dalam setahun. Peningkatan tax ratio seharusnya ditempuh melalui proses panjang reformasi perpajakan.
Kebijakan perpajakan yang lebih kondusif pada satu sisi akan mendorong kontribusi investasi dan konsumsi swasta tetapi pada sisi lain akan memperlambat pertumbuhan penerimaan pemerintah. Mengantisipasi perlambatan tersebut, guna membiayai berbagai program strategis yang telah dicanangkan pemerintah seperti pembangunan infrastruktur, pemerintah bisa berpaling ke sektor moneter. Kebijakan moneter selama tiga tahun terakhir belum menunjukkan konsistensi mendukung pertumbuhan ekonomi.
Bank Indonesia sebagai otoritas moneter selama dua tahun terakhir memang telah mengimbangi ekspansi fiskal dengan menurunkan suku bunga acuan, tetapi penurunan suku bunga acuan ternyata tidak serta-merta berdampak pada pelonggaran moneter. Penurunan suku bunga kebijakan dari 7,5% (BI Rate) pada Desember 2015 menjadi 4,25% (BI 7DRR) pada Oktober 2017 pada kenyataannya diikuti dengan terus mengalirnya dana perbankan ke kas BI. Saat ini dana perbankan yang disimpan dalam bentuk berbagai instrumen moneter di BI mencapai Rp. 485 triliun (posisi Oktober 2017). Meningkat hampir tiga kali lipat dibandingkan posisi Desember 2015 yang hanya sebesar Rp. 191 triliun. Tidak mengherankan bila kemudian pertumbuhan kredit perbankan jatuh hingga di bawah sepuluh persen. Sementara kredit perbankan sangat dibutuhkan untuk membiayai investasi swasta. Pemerintah perlu meningkatkan koordinasi kebijakan dengan Bank Indonesia agar ekspansi fiskal tidak diikuti oleh kontraksi moneter yang masif oleh Bank Indonesia.
Akbar Susamto berpendapat bahwa untuk mengoptimalkan pemanfaatan ruang moneter, diperlukan sebuah terobosan. Salah satu peluang adalah amandemen Undang-Undang Bank Indonesia yang sampai saat ini masih belum terselesaikan. Pemerintah melalui Kementerian Keuangan yang memiliki posisi aktif dalam pembahasan rancangan amandemen UU Bank Indonesia bersama DPR dapat memasukkan pasal-pasal yang memungkinkan Bank Indonesia untuk lebih berperan mendorong pertumbuhan ekonomi. Salah satu pasal yang krusial adalah tujuan dan fungsi Bank Indonesia. Perlu dipertimbangkan untuk mengembalikan tujuan dan fungsi Bank Indonesia tidak semata menjaga inflasi tetapi termasuk juga mendorong pertumbuhan ekonomi.
Seiring dengan perubahan tujuan dan fungsi Bank Indonesia tersebut, menurut Akbar, Bank Indonesia akan kembali bisa menyalurkan kredit-kredit likuiditas seperti dulu dalam bentuk kredit untuk usaha tani (KUT), kredit untuk koperasi unit desa (KKUD), Kredit untuk anggota koperasi (KKPA), kredit untuk BULOG atau bentuk-bentuk kredit program lainnya. Penyaluran kredit program berbunga rendah oleh Bank Indonesia akan membantu pemerintah, setidaknya pemerintah tidak perlu meneruskan pembiayaan program-program bantuan kepada usaha mikro dan kecil seperti dana bergulir di berbagai kementerian serta Kredit Usaha Rakyat (KUR). Penghentian program-program ini akan menghemat APBN puluhan triliun rupiah.