JAKARTA, Januari, 2018 – Di tahun 2016 silam, banyak isu yang beredar di masyarakat mengenai kemasan makanan dari polistirena busa yang dipandang berbahaya bagi lingkungan karena bahan kandungannya. Kemasan tersebut terdiri dari 5-10% plastik yang mana membutuhkan waktu ribuan tahun untuk terdegradasi secara natural oleh alam. Hal ini pun menimbulkan adanya permintaan masyarakat untuk mengganti kemasan makanan berbahan polistirena ke bahan alternatif lain seperti kertas dan jagung. Namun, benarkah kemasan tersebut lebih ramah lingkungan? Ternyata tidak! Kepala Laboratorium Teknologi Polimer dan Membran ITB, Ir. Akhmad Zainal Abidin, M.Sc., Ph.D, membagikan pengetahuannya tentang mana bahan kemasan makanan yang lebih baik dampaknya bagi lingkungan jika dilihat dari proses keseluruhan.
“Yang pertama yang harus diketahui adalah polistirena busa merupakan zat organik. Unsur yang membentuk polistirena busa adalah karbon, oksigen, dan hidrogen. Komposisi plastik di dalam kemasan makanan polistirena hanya sebesar 5-10%, selebihnya adalah udara.” Katanya dalam sebuah Roadshow mengenai Pengenalan Polistirena untuk mahasiswa di kampus Institut Teknologi Sepuluh November (ITS), Surabaya.
Pembuatan produk dari polistirena busa mengkonsumsi energi jauh lebih hemat dibandingkan produk alternatif lain. Bahan ini 50% lebih hemat energi jika dibandingkan kemasan berbahan kertas yang dilapisi lilin dan 30% lebih hemat energi jika dibandingkan pembungkus makanan dari PLA (berbahan mentah jagung). Selain itu, produk yang dibuat dari polistirena busa menggunakan air jauh lebih sedikit dibandingkan sejumlah alternatif lain – empat kali lebih sedikit dibandingkan pembungkus makanan dari PLA.
Dapat Didaur Ulang Secara Maksimal (5R)
“Ketika berbicara tentang ramah lingkungan, kita tidak boleh hanya menilai dari bahan mana yang paling gampang terurai oleh alam. Sebagai manusia, kita harus bertanggung jawab terhadap sampah yang kita hasilkan, jangan hanya menyerahkannya kepada alam.” kata Zainal. Ia pun menambahkan bahwa kemasan makanan kertas berlapis plastik akan mahal sekali jika didaur ulang. Proses pemisahan lapisan plastik dan kertas akan memakan biaya yang sangat mahal, padahal produsen kertas cenderung tidak mau memakai sampah kertas untuk membuat produk baru. “Jadi, setiap kali ada produksi kemasan makanan kertas, artinya semakin banyak pohon yang harus ditebang.” tambahnya.
Kemasan makanan dari plastik dan polistirena dapat didaur-ulang langsung menjadi aneka produk lainnya. Untuk polistirena sendiri, produk tersebut dapat dipecah kembali dan dijadikan sebuah produk yang baru, disinilah letak “sustainability” dari polistirena. Semua sampah polistirena dapat digunakan secara maksimal untuk diciptakan menjadi produk baru. “Namun, di Indonesia belum ada teknologi dan usaha yang terintegrasi untuk mendaur ulang sampah polistirena.” jelasnya.
Melihat kondisi saat ini, beberapa negara besar di dunia memastikan fasilitas daur ulang polistiren tersedia. Dia juga menyebutkan bahwa berat kemasan berbahan dasar polystyrene adalah dua sampai lima kali lebih ringan dari pada kemasan berbasis kertas yang setara. Ini berarti emisi polusi udara dalam mengangkut produk bisa dikurangi.
Tentang LTPM ITB
LTPM ITB adalah Laboratorium Teknologi Polimer dan Membran, pusat penelitian dalam bidang polimer dan membran dibawah Fakultas Teknologi Industri ITB. Sebagai organ penelitian milik ITB, LTPM bertugas menunjang kegiatan akademik ITB melalui kegiatan penelitian di bidang polimer dan membran, termasuk memberi layanan konsultansi, pelatihan dan pengembangan teknologi tepat guna. Dalam menjalankan tugasnya, LTPM ITB didukung oleh civitas akademika melalui pemberdayaan:
- Ahli-ahli ITB berpengalaman dan memiliki reputasi nasional dan internasional;
- Instrumentasi dan peralatan laboratorium;
- Jaringan kemitraan di tingkat daerah, nasional dan internasional.