Survei Membuktikan 6 Dari 10 Karyawan Indonesia Lebih Suka fleksibilitas Kerja 4 Hari Dalam Seminggu

Seremonia.id – Qualtrics, perusahaan pemimpin dan pencipta kategori manajemen pengalaman (XM) mengungkapkan melalui penelitian terbarunya bahwa 58% karyawan full-time di Indonesia lebih suka fleksibilitas sehingga bisa bekerja sesuai waktu pilihan mereka daripada satu hari lebih sedikit di tempat kerja (42%). Sentimen serupa juga disuarakan oleh responden di seluruh Asia Tenggara, dengan 60% memilih fleksibilitas daripada minggu yang lebih pendek (40%). Fleksibilitas juga menjadi pendorong retensi yang lebih besar (62%) dibandingkan empat hari kerja dalam seminggu (49%) di Indonesia.

Temuan Qualtrics akan membantu pemberi kerja agar berhasil menyelaraskan program baru yang disesuaikan dengan kebutuhan dan harapan karyawan, melihat adanya tren di beberapa organisasi di Indonesia yang ingin menerapkan model kerja hybrid secara permanen karena telah bekerja dari jarak jauh selama dua tahun terakhir.

Bagi sepertiga karyawan di Asia Tenggara (30%), fleksibilitas berarti memiliki kendali atas jam kerja yang mereka inginkan. Karyawan lainnya mendefinisikan fleksibilitas sebagai bekerja dari mana saja (25%), diukur dengan kinerja dan bukan jam (23%), atau dapat memilih hari kerja (15%).

Karyawan terbuka dengan gagasan empat hari kerja dalam seminggu, tetapi juga memiliki kekhawatiran

Sementara mayoritas karyawan lebih memilih fleksibilitas jika diberi pilihan, 83% responden di wilayah tersebut terbuka dalam mendukung pemberi kerja untuk menerapkan empat hari kerja dalam seminggu – sebagian besar melihat peningkatan kesehatan dan kesejahteraan sebagai alasan utama.

Mayoritas responden percaya bahwa empat hari kerja dalam seminggu dapat meningkatkan keseimbangan kehidupan bekerja (84%), kesejahteraan mental (79%), dan produktivitas (80%), serta membuat mereka merasa lebih setia kepada pemberi kerja (79%). Sentimen serupa juga muncul di seluruh Asia Tenggara. Sebanyak 68% responden di Indonesia juga berkeinginan untuk mengambil pemotongan gaji agar bisa bekerja satu hari lebih sedikit dalam seminggu, sedikit di atas rata-rata untuk wilayah tersebut (60%).

Meskipun berbagai uji coba empat hari kerja dalam seminggu telah terbukti memberikan manfaat – seperti peningkatan kesejahteraan di Islandia dan peningkatan produktivitas di Jepang – banyak yang percaya akan adanya akibat dari sistem tersebut. Dua pertiga (68%) responden di Indonesia mengatakan mereka akan memiliki jam kerja yang lebih lama, sementara 63% mengatakan kinerja perusahaan akan menurun, dan 55% percaya pelanggan akan frustasi. Responden dari seluruh Asia Tenggara mengungkapkan kekhawatiran yang sama.

Mengukur kinerja dan kesejahteraan dalam model kerja baru

Saat pemberi kerja memperhatikan pergeseran tersebut, dua pendorong utama keberhasilan penerapan cara kerja baru adalah memprioritaskan kesehatan dan kesejahteraan, dan memastikan karyawan tetap dapat bekerja maksimal baik di kantor maupun secara jarak jauh.

Sebanyak 78% responden mengungkapkan bahwa pekerjaan mereka sebagai sumber utama tantangan kesehatan mental. Sementara responden dari Asia Tenggara dalam jumlah serupa mengatakan bahwa bekerja dari jarak jauh memiliki dampak positif (25%) dan negatif (25%) pada kesehatan mental mereka, berbeda dengan responden dari Indonesia – dengan lebih banyak responden lokal menunjukkan dampak positif (29% positif, dibandingkan dengan 24% negatif).

Dua pertiga (63%) responden di Indonesia merasa bahwa bekerja dengan jam kerja yang fleksibel akan berdampak negatif terhadap perkembangan karir mereka. Kombinasi dari temuan ini menyoroti pentingnya memahami kebutuhan individu dalam angkatan kerja agar pemberi kerja dapat mengambil tindakan yang ditargetkan guna memastikan kebutuhan semua karyawan terpenuhi.

Salah satu potensi solusi terhadap tantangan yang ditimbulkan oleh model kerja baru adalah mengukur kinerja karyawan berdasarkan hasil dan bukan jam serta hari kerja, dengan 86% responden mendukung pendekatan ini. Secara khusus, responden melihat secara positif peningkatan efisiensi, fokus, dan pembuatan lingkungan kerja yang merata sebagai alasan utama untuk melakukannya, sementara 41% berharap untuk bekerja lebih sedikit. Mayoritas responden juga menyambut baik pemberi kerja yang menawarkan hari kesehatan mental berbayar, dengan 93% mengatakan bahwa hari tersebut akan menjadi solusi jangka panjang yang positif untuk memastikan kesehatan mental yang baik.

Untuk organisasi yang memikirkan kembali cara kerja tradisional, temuan Qualtrics mengungkapkan dampak dari perubahan yang dipertimbangkan dan diterapkan. Bersikap proaktif untuk memahami cara karyawan ingin bekerja – mempertimbangkan manfaat serta kerugian yang muncul dalam melakukannya – akan memungkinkan pemberi kerja membuat keputusan yang tepat untuk memastikan adopsi cara kerja baru selaras dengan beragam kebutuhan tenaga kerja. Hal tersebut akan membantu memecahkan masalah, seperti tantangan kesehatan dan kesejahteraan saat ini, sampai ke akarnya.

“Di antara desas-desus seputar model kerja baru, pemberi kerja tidak boleh melupakan fakta bahwa apa yang benar-benar diinginkan dan dibiasakan oleh karyawan adalah fleksibilitas dalam menyesuaikan jadwal kerja mereka berdasarkan tuntutan hidup mereka,” kata Lauren Huntington, Employee Experience Solution Strategist, Southeast Asia, Qualtrics.

“Semakin ke sini, kami melihat orang membuat keputusan karir dan menemukan kepuasan dalam pekerjaan mereka dengan bekerja untuk organisasi yang benar-benar memahami dan merespons kebutuhan mereka, dan di tempat mereka merasa memiliki. Oleh karena itu, bagian terpenting setiap model kerja bukan hanya jam atau hari kerja – tetapi juga mampu memahami dan secara positif memberikan apa yang diinginkan dan diharapkan orang untuk memastikan semua orang – termasuk pelanggan – mendapatkan manfaat dari transformasi yang sedang diterapkan.”

Related posts

Leave a Reply