Pada umumnya, toleransi merupakan konsep yang paling realistis karena kita hidup dalam kontestasi kepentingan. Aspek keseimbangan antara kekuasaan dan kebebasan sulit tercapai jika tidak ada pengakuan kesetaraan. Karena kurangnya literasi agama di masyarakat, toleransi kerap menjadi isu hangat karena dianggap menyangkut akidah.
Berangkat dari permasalahan ini, UIN Sunan Kalijaga bekerjasama dengan CRCS UGM dan NICMCR mengadakan Simposium dan Peluncuran Buku “Costly Tolerance” di teatrikal UPT Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Rabu (16/5). Kegiatan ini penting untuk menekan berbagai bentuk intoleransi keagamaan yang terjadi di dalam masyarakat.
Untuk mengulas buku tersebut hadir pembicara Dr. Phil. Sahiron, M.A.,(UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta) Prof. Leo J. Koffeman (University Amsterdam, Netherland), Zainal Abidin Bagir, Ph.D.(CRCS UGM), Robert Setio, Ph.D.(Universitas Kristen Duta Wacana), dan Pdt. Dr. Mery Kolimon (Universitas Kristen ArthaWacana).
Dr. Suhadi Kholil menjelaskan buku ini lahir dari konferensi tahun 2015 yang diselenggarakan oleh NICMCR bekerjasama dengan CRCS UGM dan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Lima paper dari buku ini pernah terbit dalam jurnal internasional. “Hal ini yang menunjukkan bahwa papernya berkualitas, bagus dan layak diterbitkan dalam sebuah buku”, kata Suhadi selaku editor buku Costly Tolerance.
Direktur Netherlands-Indonesia Consortium for Muslim-Christian Relations (NICMCR) di Indonesia June Beckx berharap tidak berhenti pada penerbitan buku, tapi menjadi batu loncatan yang bertolak pada “costly tolerance”, toleransi yang membutuhkan perjuangan, menuju “priceless tolerance”, toleransi yang tak ternilai harganya.
Saat memaparkan materi Dr. Phil. Sahiron, M.A menyampaikan pandangan intoleransi disebabkan oleh pemahaman yang sempit terhadap kitab suci. Al-Qur’an secara implisit atau eksplisit memuat intoleransi dan toleransi (ambivalensi). Tentunya perlu tafsiran ayat yang konstruktif, historis dan konstekstual. “Butuh analisis bahasa, dan asbabul nuzul untuk menjelaskan turunnya ayat toleransi” kata Sahiron.
Robert Setio, Ph, D menjelaskan faktor toleransi menjadi mahal karena membutuhkan pengorbanan, adanya resiko, perlu konsistensi, dan merupakan proses negosiasi. Toleransi tidak mudah dilakukan karena masih perlu negosiasi dan salah satu upaya reinterpretasi ayat intoleransi di kitab suci harus dilakukan untuk mewujudkan toleransi antar umat beragama.
Prof. Mery Kolimuon yang mempresentasi hasil penelitiannya di Timor, Nusatenggara Timur menyatakan manusia membutuhkan batasan agama dan budaya. Hal ini penting sebagai identitas, solidaritas sosial, dan transendensi ilahi. Akan tetapi, batasan tersebut cair dan dinamis.
Zainal Abidin Bagir, Ph. D memberi pandangan pada buku “Costly Tolerance” sangat relevan dengan situasi kita pada masa ini. Kalau kita berbicara batas toleransi, kita ingat aksi 212, Pilkada DKI, yang merefleksikan identitas dan batas. Kekhawatiran yang menyebabkan seseorang menarik batas, membuat batas-batas tertentu.
Sedangkan Prof. Leo J. Koffeman mengatakan toleransi adalah kunci bagi masyarakat multi-agama. Perdamaian dan keadilan dalam masyarakat demokratis dapat berkembang hanya dengan toleransi sepereti di Indonesia. “Apa yang membuat toleransi mahal adalah tingkat teologis, tingkat pribadi, dan tingkat kelembagaan” kata Leo.
Selepas kegiatan simposium dilanjutkan dengan board meeting yang diikuti oleh praktisi, kalangan akademisi dan lembaga pemerhati toleransi antar umat beragama di Indonesia.