
30 September 2025 – Tidak terbayang sebelumnya kalau struktur batu kuno berusia ribuan tahun bisa terkoneksi dengan teknologi media art masa kini. Seolah tidak ada medium yang memungkinkan keduanya bisa terhubung, kecuali lewat tangan delapan seniman dari Asia Tenggara dan Korea Selatan dalam waktu dekat.
Interaksi itu akan coba diwujudkan dalam “A Global Gaze from Gochang” pada 2—22 Oktober 2025 nanti, di Museum Dolmen Gochang, Korea Selatan, sebagai rangkaian acara 2025 Gochang World Heritage Festival.
Gochang, kota di Provinsi Jeolla Utara, Korea Selatan terkenal dengan situs arkeologi dolmen, yang oleh UNESCO ditetapkan sebagai situs warisan dunia sejak tahun 2013. Punya ekosistem cagar biosfer dan lanskap yang unik, kota ini juga mendapat anugerah berupa hamparan Tidal Flats.
Kalau dolmen adalah susunan batu-batu artefak megalitik dengan memori spiritual kuno masyarakat Korea. Maka tidal flats adalah hamparan lumpur yang ditarik-lepaskan oleh pasang surut laut, menciptakan lanskap yang terus bergerak dan berubah.
Dua elemen itu, dolmen yang statis dan tidal flats yang dinamis, dipersatukan jadi simbol dialog antara yang abadi dan fana. Kontras ini menghasilkan gagasan bagi para seniman untuk membangun narasi lintas waktu, antara tradisi lokal dan ekologi global, antara warisan yang diam dan hidup yang terus bergerak, antara masa lalu dan masa kini.
“Warisan budaya bukan sesuatu yang membeku dalam waktu, melainkan dialog hidup yang terus berkembang.” Seperti tertulis dalam kuratorial statement oleh Digi Arafah, penggagas Swarnaloka, kolektif seni media dari Asia Tenggara.
Kolaborasi Lintas Budaya

Dialog itu coba diterjemahkan oleh delapan seniman partisipan. Mengambil cahaya, suara, dan interaksi digital menjadi instalasi media untuk bercerita tentang Gochang sekaligus mengaitkannya dengan pengalaman serupa di daerah asal mereka masing-masing.
Proyek kolaborasi ini adalah inisiatif dari Swarnaloka dan Galleryamidi, kolektif seni kontemporer Korea yang telah berpengalaman tujuh tahun. Bersama-sama, mereka melibatkan delapan seniman, di antaranya MXC Creative Studio dari Vietnam; The Fox, The Folks, Khaery Chandra, Fearmos, Rainerius Raka & Adani Zata, serta Malik I dari Indonesia; Keboyotan dari Malaysia; dan Lee Yoon Su sebagai tuan rumah dari Korea Selatan.
Bagi Swarnaloka, ini menjadi kesempatan menghubungkan seniman regional dengan audiens global. Sementara, Galleryamidi melihatnya sebagai wujud solidaritas artistik lintas disiplin. Pada media wall lantai 1 dan instalasi di Dolmen Media Garden, Gochang Dolmen Museum, Gochang Korea Selatan. Karya para seniman ini akan dipamerkan permanen sebagai instalasi jangka panjang setelah festival berakhir.
Para Seniman Partisipan
The Fox, The Folks (Indonesia). Tim seniman multimedia asal Bandung spesialis animasi 2D, motion graphic, dan projection mapping. Karya mereka, Porta Petra, mengangkat dolmen sebagai saksi sekaligus asal mula kehidupan.
MXC Creative Studio (Vietnam). Studio digital art dari Ho Chi Minh City berfokus pada pengalaman visual 3D dan desain grafis. Kali ini mereka akan mengusung konsep perjalanan ke dalam diri, meleburkan ingatan dan waktu, membuka ruang untuk menafsirkan ulang makna kemanusiaan.
Keboyotan (Malaysia). Aliff Firdaus, motion artist yang menekuni tema memori dan emosi. Karyanya Dua Bumi menghubungkan dolmen Gochang dengan batu megalitik Sarawak, menjadikannya portal lintas ruang dan waktu.
Fearmos (Indonesia). Tim kecil asal Surabaya yang baru menekuni video mapping sejak 2024. Karya mereka menampilkan dolmen sebagai jembatan reflektif antara bumi dan kosmos.
Khaery Chandra (Indonesia). Juga dikenal sebagai Saeki, adalah motion designer asal Jawa Tengah. Karyanya Infinite Convergence mengeksplorasi pertemuan sakral jiwa yang melebur dengan alam semesta, melampaui bentuk dan batas.
Malik I (Indonesia). Seniman 3D asal Bandung, menghadirkan dolmen sebagai pilar mistis di tengah dunia yang terus berubah. Karyanya terinspirasi kartu tarot Wheel of Fortune, menggambarkan siklus penciptaan, keruntuhan, dan kelanjutan hidup.
Adani Zata & Rainerius Raka (Indonesia). Kolaborasi mereka menggabungkan desain grafis dan motion design. LAKU, karya mereka kali ini menampilkan perjalanan simbolis dari Gunung Merapi hingga Laut Selatan, menggambarkan proses spiritual manusia.Lee Yoon Su (Korea Selatan). Seniman tuan rumah yang akan memberi konteks lokal budaya Korea masa kini, menjembatani tradisi dan masyarakat kontemporer.





