Yogyakarta – Untuk mendukung upaya percepatan Pembangunan Infrastruktur di Indonesia yang terkadang terganjal masalah hukum, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mendorong semua penyelesaian sengketa konstruksi agar dapat dilakukan melalui jalur alternatif di luar persidangan, yakni melalui Dewan Sengketa Konstruksi.
Pada umumnya penyelesaian sengketa konstruksi berujung di arbitrase atau pengadilan yang seringkali menimbulkan ketidakpastian kepada salah satu pihak, hingga tetap dilakukan peninjauan kembali di Mahkamah Agung. Proses tersebut di atas memerlukan waktu yang lama dan biaya yang besar, serta menimbulkan ketidakpastian hukum di antara para pihak dan pekerjaan konstruksi menjadi berhenti.
“Penyelesaian masalah/sengketa kontrak kerja konstruksi melalui Dewan Sengketa ini mampu memberikan berbagai manfaat seperti menghemat waktu, biaya dan bisa menjaga hubungan baik antara pengguna jasa dan penyedia jasa. Kementerian PUPR saat ini mulai melakukan penyelesaian sengketa kontrak kerja konstruksi menggunakan Dewan Sengketa (Dispute Board),” ujar Direktur Jenderal Bina Konstruksi Kementerian PUPR Syarif Burhanuddin saat membuka Dispute Board International Conference and Workshop, Selasa (21/08/2018) di Yogyakarta.
Syarif berharap melalui Konferensi dan Workshop pemahaman terhadap Dewan Sengketa semakin meningkat, sehingga mampu menjadikan Dewan Sengketa sebagai solusi alternatif penyelesaian sengketa yang sekaligus berfungsi sebagai upaya pencegahan. Konferensi dan Workshop ini dilaksanakan oleh The Dispute Resolution Board Foundation bekerjasama dengan Kementerian PUPR dan Universitas Atmajaya Yogyakarta, dengan menghadirkan pembicara utama antara lain Toshihiko Omoto (Jepang), Donald Charrett (Australia), Elizabeth Tippin (USA) dan Sarwono Hardjomuljadi (Indonesia).
Pada pasal 88 ayat 4 Undang-undang No 2 Tahun 2017 Tentang Jasa Konstruksi diatur pilihan pertama penyelesaian sengketa kontrak kerja konstruksi adalah melalui musyawarah untuk mufakat yang kemudian dilanjutkan pada tahap penyelesaian sengketa yang terdiri dari mediasi, konsiliasi dan arbitrase.
Dijelaskan Syarif, upaya penyelesaian sengketa melalui mediasi dan konsiliasi dapat digantikan dengan Dewan Sengketa yang bertujuan untuk menyederhanakan proses agar mencapai hasil yang lebih cepat, murah dan mengutamakan kesepakatan yang saling menguntungkan. Dewan Sengketa dibentuk dari banyaknya pekerjaan konstruksi yang secara fisik telah dilaksanakan, namun masih meninggalkan sengketa atau permasalahan legal dan administrasi.
“Musyawarah untuk mencapai mufakat merupakan kunci agar terjadi hubungan baik antara penyedia jasa dan pengguna jasa konstruksi. Dan pemahaman tentang penyelesaian kontrak konstruksi ini pun perlu diketahui oleh semua pihak, bukan hanya pihak kontraktor, melainkan juga praktisi hukum di Indonesia,” ujar Syarif.
Syarif menjelaskan bahwa Penerapan konsep dewan sengketa sudah mulai dilakukan misalnya pada paket Pembangunan TPA Sampah di Kota Jambi, Kota Malang, Kabupaten Sidoarjo dan Kabupaten Jombang; paket Toll Road Development of Cileunyi – Sumedang – Dawuan Phase III (Cisumdawu III); paket Pembangunan Jalan Akses Pelabuhan Patimban; paket Hydromechanical Works for Construction of Karian Multipurpose Dam Project; serta paket Emission Reduction in City Programme Solid Waste Management Municipality of Malang dan Sidoarjo.
Tampak hadir mengikuti workshop tersebut, Direktur Bina Penyelenggaraan Jasa Konstruksi Sumito dan Direktur Kerjasama & Pemberdayaan Kementerian PUPR Dewi Chomistriana.