Revolusi industri 4.0 telah membawa perubahan pada model bisnis baru di sektor manufaktur, yang dinilai mampu meningkatkan kinerja hingga 20-50 persen lebih tinggi dari sebelumnya. Hal ini karena melalui pemanfaatan teknologi digital secara terintegrasi.
“Jadi, tentunya penerapan industri 4.0 diyakini akan memacu produktivitas dan kualitas sehingga produk yang dihasilkan lebih inovatif dan kompetitif,” kata Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto sesuai keterangannya yang diterima di Jakarta, Kamis (24/1).
Saat itu, Menperin menjadi narasumber pada workshop mengenaistrategi bisnis dan dampak global dari Future Factory 4.0 dalam rangkaian kegiatan 2019 World Economic Forum Annual Meeting di Davos, Swiss. Salah satu fokus pembahasannya adalah upaya peningkatan penggunaan teknologi di industri manufaktur.
Adapun lima teknologi utama yang menopang pembangunan sistem industri 4.0, yaitu Internet of Things, ArtificialIntelligence, Human–Machine Interface, teknologi robotik dan sensor, serta teknologi 3D Printing. “Penerapan industri 4.0 merupakan upaya untuk melakukan otomatisasi dan digitalisasi pada proses produksi,” terangnya.
Langkah tersebut mendorong pengembangan pabrik masa depan di era industri 4.0 atau Future Factory 4.0. Ini menjadi inisiatif yang bertujuan membantu perusahaan-perusahaan manufaktur, termasuk industri kecil dan menengah (IKM), untuk beradaptasi dengan tekanan persaingan global dan perkembangan teknologi terbaru.
“Inisiatif ini akan membantu industri untuk memenuhi permintaan konsumen global yang meningkat terhadap produk yang lebih ramah lingkungan, lebih sesuai dan lebih berkualitas melalui transisi industri dengan lebih sedikit limbah dan penggunaan sumber daya yang lebih baik,” papar Menperin.
Guna memaksimalkan pemanfaatan teknologi terkini, perlu mengidentifikasi keterampilan baru yang dibutuhkan serta mendukung upaya peningkatan kemampuan dan pendidikan SDM industri. Untuk itu, pemerintah berkomitmen menyiapkan formulasi percepatan penerapan industri 4.0 melalui insentif pajak (untuk sektor yang berinvestasi di penelitian dan pengembangan teknologi), pelatihan manajer dan ahli, fasilitas untuk IKM, program percontohan, dan pendirian pusat inovasi industri 4.0.
Selanjutnya, diperlukan penguatan kemitraan yang sinergi antara pemerintah dengan swasta. Selain itu, dibutuhkan kegiatanpenelitian dan pengembangan yang lebih aktif guna menciptakan proses manufaktur berteknologi tinggi, kemudian peralatan dan sistem manufaktur yang adaptif dan cerdas, desain pabrik yang efisien, serta manajemen data untuk meningkatkan produksi.
Menperin menambahkan, revolusi industri 4.0 juga telah mengubah operasi menjadi inovasi dan mendorong paradigma produktivitas baru di sektor manufaktur. “Mau tidak mau, kalau kita bicara future production, bicara pula tentang memperluas pasar ekspor. Kalau kita bicara pasar ekspor, berarti globalisasi,” ungkapnya.
Dalam hal ini, sesuai implementasi peta jalan Making Indonesia 4.0, Kementerian Perindustrian terus menggenjot kinerja industri yang berorientasi ekspor. Sektor yang menjadi prioritas, di antaranya yang akan menjadi pionir penerapan industri 4.0, yakni industri makanan dan minuman, tekstil dan pakaian, otomotif, kimia, serta elektronika.
“Indonesia sudah memprioritaskan pada industri yang berorientasi ekspor di lima sektor tersebut sesuai Making Indonesia 4.0. Jadi, lima sektor itu memang diminati oleh berbagai negara, tentu ini bagian dari global supply chainyang dihasilkan dari Indonesia,” tuturnya.
Kemenperin mencatat, industri manufaktur konsisten memberikan kontribusi terbesar terhadap nilai ekspor nasional hingga 73 persen. Nilai ekspor industri pengolahan nonmigas diproyeksi menembus USD130,74miliar pada tahun 2018. Capaian ini meningkat dibanding tahun sebelumnya sebesar USD125,10 miliar.
RI negara stabil
Menperin pun menyampaikan, di setiap rangkaian pertemuan pada WEF 2019, banyak perwakilan negara lain menyatakan Indonesia menjadi salah satu negara yang stabil secara politik dan ekonomi. Ini menjadi fundamental yang kuat dalam memacu pertumbuhan ekonomi.
“Apalagi, dengan ketersediaan jumlah tenaga kerja, Indonesia juga menjadi daya tarik tersendiri bagi perusahaan-perusahaan di dunia untuk mendiversifikasi produknya, seperti dari China,” ujarnya.
Terkait adanya isu perang dagang yang berkembang dan kondisi ketidakpastian di tingkat global, Menperin menilai, hal itu bisa menimbulkan perlambatan pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, Indonesia perlu mengelola norma baru dengan pertumbuhan saat ini.
“Langkah quick wins yang dilakukan, salah satunya mendorong peningkatan investasi di lima sektor unggulan pada Making Indonesia 4.0. Jadi, kita konsisten saja dengan investasi di lima sektor itu, karena mempunyai pasar yang besar,” tuturnya.
Kemenperin terus mendorong peningkatan investasi guna lebih memperdalam struktur industri di dalam negeri, yang juga bertujuan untuk mensubstitusi produk impor.Investasi di sektor industri manufaktur pada tahun 2014 sebesar Rp195,74 triliun, naik menjadi Rp226,18 triliun di tahun 2018.
Di tengah pertumbuhan ekonomi dunia yang lebih lambat, menurut Airlangga, Indonesia mampu mengatasinya dengan mencatatkan pertumbuhan ekonomi berkisar 5,2 persen dalam lima tahun terakhir. “Dari capaian itu, kami bisa menyediakan lapangan kerja dan mengurangi angka kemiskinan yang angkanya terendah dalam empat tahun terakhir,” tuturnya.
Bahkan, di tengah perang dagang Amerika Serikat dan China, Indonesia mengalami keuntungan darisituasi tersebut. “Bagi dua negara itu akan melihat ke kawasan regional lain, termasuk ke Indonesia. Jadi, ada investasi baru yang akan komit ke Indonesia, ini juga bisa dilihat sebagai stabilisasi bagi wilayah kita,” jelasnya.
Kendati demikian, Menperin berharap, AS dan China bisa lebih menjalin hubungan yang harmonis, sehingga perekonomian Indonesia ikut berjalan lebih cepat. “Yang paling penting adalah globalisasi. Standardisasi jadi penting, kalau kita melakukan perdagangan dengan standar global,” imbuhnya.
Dalam hal ini, Indonesia telah menyiapkan melalui peta jalan Making Indonesia guna meningkatkan daya saing industri nasional di kancah global. “Di roadmap itu sudah jelas target yang tercantum, bahwa tahun 2030, Indonesia akan menjadi 10 besar kekuatan ekonomi dunia. Kemudian, menuju 100 tahun kemerdekaan Indonesia di 2045, PwC menyampaikan Indonesia bisa menduduki peringkat ke-4 dalam perekonomian dunia,” paparnya.
Keikutsertaan di WEF 2019 merupakan langkah untuk kalibrasi kebijakan Indonesia terkait digitalisasi ekonomi serta globalisasi. “Dengan globalisasi, atau lebih tepatnya glokalisasi ekonomi, kami ingin melihat dan merangkul lebih banyak komunitas, negara serta korporat untuk rekalibrasi kebijakan di Indonesia,” kata Airlangga. Menurutnya, langkah ini penting untuk mengetahui arah dan tujuan pembangunan Indonesia ke depan.