Rafli Mursalim, Pengabdian Seorang Santri untuk Sepakbola Indonesia

Jakarta: Dengan postur tubuh 176 cm, anak muda itu berlari dan mengejar bola di lapangan ABC Senayan. Kulitnya yang sawo matang, semakin matang terpapar sinar matahari untuk berlatih. Peluh demi peluh membasahi rumput, tapi anak muda itu tetap fokus ke arah bola dan bergerak sesuai arahan pelatih. Dia adalah Muhammad Rafli Mursalim, penyerang Timnas Indonesia U-19.

Rafli dan puluhan anak muda lainnya sedang berlatih untuk menghadapi Taiwan pada laga pembuka Piala Asia U-19. Sesekali Rafli menepi untuk minum agar tidak dehidrasi. Dia mengambil sebuah botol lalu berlutut. Lantas dia tenggak botol itu ke mulut dengan tangan kanan sebanyak tiga teguk. Merasa cairan yang masuk ke dalam tubuh sudah mencukupi, dia kembali berdiri dan melanjutkan sesi latihan. Adapun cara minum seperti itu dipelajarinya selama di pondok pesantren.

Rafli lahir di Tangerang pada 5 Maret 1999. Pada usia sekitar 15 tahun, Rafli memutuskan masuk ke pondok pesantren Al Asy’Ariyah Banten. Di sana, Rafli tidak hanya mendalami ilmu agama, tapi juga menyalurkan hobinya di olahraga sepakbola. “Selama sekitar lima bulan itu saya belajar ilmu agama, misal tiap malam Jumat saya yasinan. Di sela-sela itu, saya main bola,” kenang Rafli.

Hobinya itu kini telah melambungkan nama seorang Rafli Mursalim. Berawal dari sebuah turnamen Liga Santri Nusantara dua tahun silam, nama Rafli keluar sebagai pencetak gol terbanyak dengan koleksi 15 gol. Liga Santri sendiri adalah turnamen yang pesertanya para santri dari seluruh pondok pesantren di Indonesia. Pertama kali diselenggarakan pada 2015 oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora).

Meski timnya hanya bertahan sampai semifinal, tapi Rafli adalah satu-satunya pemain paling subur waktu itu. Penampilan cemerlangnya sampai ke telinga Indra Sajfri. Bahkan dalam beberapa pertandingan, pelatih Timnas U-19 itu menyempatkan hadir di tribun untuk menyaksikan kemampuan Rafli di lapangan.

Bagi Rafli, turnamen Liga Santri bakal abadi dalam memori. Pasalnya di ajang itulah dia bisa berprestasi. Berkat ajang itulah dia mewujudkan mimpi sebagai pesepakbola karier. Bahkan di ajang itu, Rafli bisa membuktikan kepada orang lain bahwa santri tidak hanya piawai dalam urusan agama.

“Kesan-kesan saya terhadap Liga Santri sangat bagus karena bukan hanya orang biasa saja yang bisa berprestasi. Banyak yang selama ini bilang kalau santri cuma bisa salat dan mengaji. Namun kita (para santri) mungkin punya bakat-bakat terpendam dan kemarin (saat Liga Santri nusantara 2016) saya buktikan bahwa saya mampu,” ujar Rafli dengan penuh percaya diri.

Rafli juga sosok yang rendah hati. Ketika ditanya siapa saja di balik kesuksesannya, dia menjawab rekan-rekannya sesama santri. Di pondok pesantren, para kiai selalu mengajarkan Rafli dan juga para santri supaya saling mendoakan satu sama lain. Rafli merasa kesuksesan membela Timnas U-19, tiada lepas dari doa teman-temannya itu.

Hal-hal positif selama di pesantren nyatanya juga ia terapkan selama di Timnas U-19. Rafli tetap melaksanakan salat malam. Dia tetap bangun lebih pagi agar tidak ketinggalan waktu subuh. Adapun hal itu dijalani dengan gembira karena rekan-rekannya di Timnas yang beragama Islam juga melakukan hal serupa. Sehingga dia tidak mengalami gegar budaya sama sekali bahkan pengalamannya sebagai santri memudahkan dirinya untuk beradaptasi dengan lingkungan baru.

Rafli percaya bahwa di luar sana banyak sekali santri yang jago bermain sepakbola. Pada momentum hari santri nasional yang diperingati setiap 22 Oktober, Rafli ingin agar semakin banyak santri yang membela Timnas Indonesia. Dia ingin memperbaiki stigma masyarakat yang menganggap santri cuma bisa salat dan mengaji. “Buat teman-teman (santri) yang lain, kalau ingin sukses, kita harus kerja keras karena cita-cita itu dikejar bukan ditunggu. Jangan lupa untuk tetap berdekatan dengan Allah, dibarengi dengan kerja keras dan tentunya disiplin,” kata Rafli dengan sungguh.

Related posts

Leave a Reply