Hadiri Sidang MEPC Ke-72, Indonesia Bahas Serius Isu GHG, Limit Sulfur Dalam Bahan Bakar Dan PSSA Di Selat Lombok

LONDON, 11 April 2018 – Isu Global Sulphur Limit dan Climate Change merupakan isu terkait perlindungan lingkungan yang sedang gencar-gencarnya dibahas pada pertemuan-pertemuan International Maritime Organization (IMO). Pembahasan mengenai Climate Change berhubungan erat dengan komitmen IMO untuk mengurangi gas rumah kaca (GHG) dari kapal pelayaran internasional. Terkait dengan hal tersebut telah disusun draft strategi awal IMO GHG pada pertemuan kedua Intersessional Working Group on Reduction Greehouse Gas bulan Oktober tahun lalu.

Sedangkan pada Sidang Marine Environmental Protection Committee (MEPC) ke-70 pada tahun 2016 telah ditetapkan bahwa mulai 1 Januari 2020, batas sulfur dalam bahan bakar tidak boleh lebih dari 0,50% m/m.

Kedua isu tersebut menjadi topik hangat yang dibahas secara serius pada Sidang MEPC ke-72 yang sedang berlangsung di Markas Besar IMO di London sejak tanggal 9 hingga 13 April 2018 mendatang.

Adapun Delegasi Republik Indonesia yang hadir pada Sidang MEPC ke-72 ini diketuai oleh Staf Khusus Menteri Perhubungan Bidang Hubungan Internasional, Duta Besar Dewa Made Sastrawan disertai oleh perwakilan-perwakilan dari Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan, Kementerian Koordinasi Bidang Kemaritiman, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, PT. BKI (Persero), PT. Pertamina (Persero), PT. Pelni (Persero) dan DPP INSA.

Penurunan emisi gas buang dari kapal hingga di bawah 2 ⁰C telah ditetapkan di Paris Agreement, yang merupakan perjanjian dalam Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa atau United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) mengenai mitigasi emisi gas rumah kaca, adaptasi, dan keuangan. Persetujuan ini diharapkan dapat efektif pada tahun 2020. Persetujuan ini dinegosiasikan oleh 195 (seratus sembilan puluh lima) perwakilan negara-negara pada Konferensi Perubahan Iklim PBB ke-21 di Paris, Prancis. Setelah proses negosiasi, persetujuan ini ditandatangani tepat pada peringatan Hari Bumi tanggal 22 April 2016 di New York, Amerika Serikat. Hingga saat ini, 194 negara telah menandatangani perjanjian ini dan 144 di antaranya telah meratifikasi perjanjian tersebut. Indonesia merupakan salah satu negara yang menandatangani perjanjian ini pada 22 April 2016. Adapun persentase gas rumah kaca yang diratifikasi oleh Indonesia adalah sebesar 1,49%.

Baca juga  Semarak Budaya dan Sejarah di Semarang Bercerita dan Biennale Festival 'Jejak Jalur Rempah' 2023

Ketua Delegasi RI, Duta Besar Dewa Made Sastrawan, mengatakan bahwa pada Sidang MEPC ke-72 ini Indonesia mengusung misi untuk tetap mempertahankan semangat Paris Agreement dalam isu Green House Gases bagi emisi gas buang kapal bersama dengan beberapa negara anggota IMO lainnya, khususnya negara-negara berkembang.

“Kita akan memperjuangkan kepentingan nasional melawan ambisi negara-negara maju untuk segera memberlakukan zero emisi. Hal ini mempertimbangkan pelayaran Indonesia yang masih didominasi oleh kapal-kapal lama, sehingga kebijakan yang diusulkan oleh beberapa negara maju terkait GHG tentunya akan berdampak merugikan bagi Indonesia,” ungkap Made.

Namun demikian, Made menambahkan, Indonesia tetap akan terus berupaya untuk mengurangi emisi gas buang dari kapal mengingat penurunan emisi gas buang kapal juga sejalan dengan program Pemerintah Presiden Jokowi untuk menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia, sehingga perlu dilakukan antisipasi terhadap penggunaan mesin yang hemat energi dan rancang bangun kapal yang efisien untuk pembangunan kapal baru, serta penggunaan bahan bakar alternatif.

Baca juga  BPSDM PUPR Telah Menyelenggarakan Dua Pelatihan Bidang SDA dan Permukiman

Selanjutnya, terkait dengan isu penetapan kandungan sulfur di bahan bakar maksimal 0,5%, Made menjelaskan bahwa diperlukan persiapan dari semua pihak terkait di Indonesia, karena dengan berlakunya aturan ini pada 1 Januari 2020, maka kapal-kapal Indonesia, khususnya yang akan berlayar ke luar negeri, wajib menggunakan bahan bakar yang sesuai dengan ketentuan, karena akan menjadi object detention baru bagi pemeriksaan port state control.

Untuk itu, Made menjelaskan, bahwa Direktorat Jenderal Perhubungan Laut melalui Direktorat Perkapalan dan Kepelautan telah menyiapkan langkah-langkah untuk dapat mencapai batas sulfur 0,5% berkoordinasi dengan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, serta PT. Pertamina (Persero).

“Khusus mengenai penggunaan bahan bakar di kapal, mulai tanggal 1 Januari 2019, semua kapal di Indonesia wajib melaporkan penggunaan bahan bakar kapalnya selama satu tahun kepada pemerintah. Selanjutnya, pemerintah akan menyampaikan total dari penggunaan bahan bakar kapal-kapal berbendera Indonesia kepada IMO,” jelas Made.

Selain kedua isu hangat tersebut, Sidang MEPC ke-72 juga membahas isu-isu strategis lingkungan lainnya seperti manajemen pengelolaan air balas di atas kapal, pencegahan pencemaran udara dari kapal dan energi efisiensi, Particularly Sensitive Sea Area (PSSA) serta mengenai sampah di perairan.

Baca juga  Hankook Tire Tampilkan Laufenn di SEMA 2017

Lebih lanjut, penetapan PSSA di Selat Lombok, menurut juga menjadi kepentingan Indonesia pada Sidang MEPC ke-72 ini. Delegasi Indonesia direncanakan untuk melakukan koordinasi dengan Sekretariat IMO untuk menindaklanjuti information paper Indonesia terkait penetapan Selat Lombok, termasuk Kepulauan Gili dan Nusa Penida sebagai kawasan laut yang sensitif dan dilindungi.

“Kita berharap pada Sidang MEPC ke-73 nanti, Indonesia dapat menyampaikan progress atas information paper tersebut, yang diselaraskan juga dengan rencana pengajuan proposal TSS Selat Lombok dan Selat Sunda,” pungkas Made.

Sidang IMO – MEPC merupakan sidang berkala yang diadakan oleh organisasi maritim internasional (IMO) terkait dengan pencegahan dan penanggulangan pencemaran di perairan maritim, termasuk pengendalian dan pencegahan pencemaran yang bersumber dari kapal sebagaimana diatur dalam MARPOL terkait pencemaran minyak, bahan cair beracun, kotoran, sampah, dan emisi gas buang dari kapal. Hal lain yang juga ditangani adalah manajemen pengelolaan air balas, anti fouling/teritip, penutuhan kapal, pengendalian dan penanggulangan pencemaran, identifikasi daerah khusus, serta particularly sensitive sea area.