7 Fakta Kemasan Makanan Berbahan Polistirena Busa yang Belum Diketahui Secara Umum

Jakarta, 8 Maret 2018 – Pemakaian kemasan makanan berbahan busa polistirena (atau dikenal
dengan Styrofoam) masih menjadi isu hangat di Indonesia. Dua tahun terakhir, banyak pihak
membahas tentang baik dan buruknya pemakaian kemasan ini. Dalam mempertimbangkan
apakah kemasan ini adalah kemasan terbaik dari segi kesehatan, lingkungan, dan ekonomi,
berikut adalah fakta-fakta yang perlu diketahui oleh masyarakat Indonesia.
1. Kemasan Makanan Yang Paling Baik dalam Menjaga Kebersihan dan Kualitas Makanan
Karena sifatnya yang kokoh, ringan, dan dapat “mengisolasi” dengan baik, kemasan ini cocok
digunakan dalam pengiriman makanan segar. Kemasan berbahan busa polistirena dapat
menahan dingin di dalamnya dalam waktu yang lama, sehingga dapat menjaga bahan
makanan yang sensitif dengan perubahan suhu (temperature-sensitive) tetap segar. Itulah
sebabnya mengapa pengiriman lobster segar kerap menggunakan kemasan ini.
2. Kemasan Makanan Paling Ekonomis
Harga satuan kemasan ini biasa dibanderol sebesar 200-300 rupiah. Untuk pedagang kaki
lima, harga ini sangat ideal. Karena murah, mereka tidak perlu membebani konsumen. Beda
halnya dengan di Bandung yang dalam 2 tahun terakhir dihimbau untuk mengganti kemasan
makanan ini dengan yang berbahan kertas oleh pemerintah setempat. Harga kemasan
pengganti itu adalah 1600-2,000 rupiah dan pasti dibebankan kepada konsumen. Hal ini
berimbas dengan angka penjualan yang semakin menurun karena konsumen menjadi enggan
membeli. Kondisi ini tentu tidak menguntungkan pedagang kaki lima.
3. Kemasan Makanan yang Daur Hidupnya Paling Hemat Energi
Pembuatan produk dari busa polistirena mengkonsumsi energi jauh lebih hemat
dibandingkan produk alternatif lain. Bahan ini 50% lebih hemat energi jika dibandingkan
kemasan berbahan kertas yang dilapisi plastik dan 30% lebih hemat energi jika dibandingkan
pembungkus makanan dari PLA (berbahan mentah jagung). Selain itu, proses produksi dari
busa polistirena mengkonsumsi air jauh lebih sedikit dibandingkan sejumlah alternatif lain –
empat kali lebih sedikit dibandingkan pembungkus makanan dari PLA. Kemasan busa
polistiren bisa dua sampai lima kali lebih ringan dibandingkan kemasan kertas padanannya.
Hal ini berarti mengurangi emisi karbon dioksida ke udara pada pengangkutan produk.

Baca juga  ReFIT Indonesia Ekspansi, Buka ReFIT Club di Jakarta Selatan

4. Kemasan Makanan Yang Aman Bagi Kesehatan
Pada bulan Januari lalu, para ahli, pelaku industri, dan perwakilan BPOM menjadi pembicara
dalam Media Workshop “We Don’t Think Strawberry Cause Cancer – The Myth and Fact
Behind Styrofoam Packaging”. Dalam kesempatan itu, Kepala Laboratorium Teknologi
Polimer dan Membran Institut Teknologi Bandung (ITB), Ir. Akhmad Zainal Abidin, M.Sc., Ph.D
mengungkapkan “Masih banyak orang yang tidak dapat membedakan antara Stirena dengan
Polistirena. Kedua zat ini ibarat karbon dan berlian. Seperti halnya karbon, stirena adalah zat
kimia, sedangkan Polistirena selayaknya berlian yang terbentuk dari karbon, adalah hasil
olahan dari stirena yang aman untuk digunakan.” Kemasan makanan yang berbahan busa
polistirena mengandung 90-95% udara dan selebihnya adalah polistirena. Residu stirena
yang terpapar ke makanan pun dalam batas yang sangat aman, yakni 10-45 ppm sedangkan
batas standard aman BPOM & WHO adalah 5,000 ppm.
5. Kemasan Makanan Paling Berkelanjutan bagi Lingkungan
Keberkelanjutan (sustainability) bagi lingkungan kini bukan dilihat kemudahan membusuk
(biodegradability) suatu bahan tetapi dari siklus atau daur hidupnya yang lebih ramah
lingkungan, mulai dari bahan baku, cara produksi, penggunaan produknya, sampai pendaurulangan
sampahnya adalah yang paling sedikit memakan energi, tidak menimbulkan
pemanasan global, dan sumber daya alam yang dipakai tidak berlebihan. Dari sisi
penggunakan energi, kemasan makanan dari polistirena ini sangat hemat dalam proses
pembuatan dan pemakaiannya; dan dari sisi pendaur-ulangan sampahnya juga punya potensi
yang lebih baik, karena kemasan ini dapat didaur ulang (recycled) atau diperoleh ulang
(recovery) menjadi barang baru seperti kemasan polistirena untuk elektronik, beton ringan
dan absorber sulfur.
6. Kemasan Makanan yang Sampahnya Paling Bernilai Ekonomis
Dari timbunan sampah yang ada di Indonesia, sampah plastik dan kemasan makanan
(termasuk polistirena) adalah yang paling dicari oleh para pemulung karena lebih bernilai
ekonomis. Ini adalah hasil temuan yang didapat oleh Ir. Akhmad Zainal Abidin, M.Sc., Ph.D dan
tim saat melakukan survei sampah di lebih dari belasan sungai-sungai besar di pulau Jawa.
7. Inggris, Jerman, Amerika, dan Kanada Melegalkan Pemakaian Styrofoam dan
Dilengkapi dengan Sistem Pengolakan Sampah yang Terintegrasi.
Seperti layaknya di Indonesia, pemerintah Inggris, Jerman, Amerika, dan Kanada tidak
melarang pemakaian kemasan makanan dari busa polistirena ini. Justru mereka membuat
sistem pengolahan sampah yang sangat baik, untuk memastikan sampah kemasan ini dapat
dipergunakan secara maksimal. Seperti di Inggris, terdapat 25 lokasi sarana daur ulang busa
polistirena. Di Jerman, 98% dari kemasan busa polistirena yang dikembalikan ke tempat
penampungan sampah didaur ulang. Di California, Amerika Serikat, 20% dari seluruh penduduknya memiliki akses daur ulang untuk kemasan jajanan makanan pinggir jalan. Satu
di antara empat warga Kanada dapat mengakses layanan dinas kota untuk daur ulang busa
polistirena, sedangkan untuk busa polistirene non food grade (untuk kemasan elektronik
besar) satu di antara dua warga Kanada dapat mengakses layanan daur ulang dari pemerintah
mereka.
Tentang Polimer Lestari
Polimer Lestari adalah organisasi yang bergerak di bidang konsultasi, penelitian, dan
pengaplikasian teknologi dalam pemanfaatan kembali polimer secara ramah lingkungan. Berpusat
di Bandung, saat ini Polimer Lestari tengah mengembangkan konsep pengelolaan sampah
terintegrasi berbasis komunitas untuk mengatasi masalah sampah, meringankan biaya
pengelolaan sampah, dan meningkatkan partisipasi masyarakat dan industry, yakni Managemen
Sampah Zero (MASARO). Di tahun 2017 dan 2018, konsep ini tengah dikembangkan di wilayah
Juntinyuat, Indramayu; Babakan, Cirebon; Sukoharjo, Solo; Banjaran, Majalengka; Rengas
Dengklok, Karawang; Tarempa, Anambas; Kota Bandung; Kota Surabaya; dan Kota Pekan Baru.